KISAH HIDUP DENGAN ISTERIKU
Nama lengkapnya adalah Ana Lasru
Gansalangi, lahir di Barru tanggal 22 Pebruari 1952. Nama ini sama sekali asing ditelingaku pada
waktu pertama kali aku mengetahuinya. Kenapa yah ada nama seperti itu di tanah
Barru padahal dia mengaku sebagai orang bugis ?, pertanyaan ini terlintas di
otakku. Pantaslah kalau orang-orang disekitarku ketika itu khususnya di SMA
Negeri Barru cukup menyayangkan mengapa aku memilih gadis itu sebagai calon
isteriku.
Aku pertama kali bertemu dengannya di
stand kantor Departemen Penerangan (Deppen) Kabupaten Barru dalam arena Pekan
Pembangunan yang setiap bulan Agustus diadakan
sebagai rangkaian peringatan Ulang tahun Kemerdekaan RI. Pameran pembangunan
ini diisi oleh stand-stand dari semua instansi, sekolah-sekolah Menengah,
kantor-kantor kecamatan se Kabupaten Barru dll. Kegiatan pameran ini salah satu
tujuannya adalah memberikan informasi kepada masyarakat tentang hasil-hasil
pembangunan yang telah dicapai oleh
pemerintah selama ini disamping itu juga merupakan sarana hiburan bagi
masyarakat.Pengunjungnya sangat membludak setiap malam. Memang asal ada keramaian
yang diadakan di Barru selalu mengundang
banyak penonton walaupun hanya pesta perkawinan misalnya, apa lagi kalau
menghadirkan orkes yang berirama dangdut
sangatlah digemari, utamanya bagi kaum muda-mudi. Hal itu bisa dimaklumi karena
acara-acara hiburan boleh dikata tidak tersedia di ibu kota Kabupaten ini. Bisa
dibayangkan betapa haus masyarakat akan hiburan karena bioskop satupun tidak
ada apalagi sarana hiburan lain. Sebenarnya pernah juga ada bioskop tetapi
karena petugas jaga sangat murah hati dengan menggratiskan biaya masuk bagi
kenalan dan keluarganya maka tak lama bioskop itu sudah ditutup karena
bangkrut. Malam itu aku diperkenalkan oleh seorang teman guru yang bernama pak
Syamsuddin Arif yang isterinya bekerja di Kantor Deppen, dengan cara memegang
tanganku dia mengajak berkenalan dengan seorang gadis yang merupakan salah
seorang penjaga stand yang juga pegawai Deppen. Anehnya gadis yang bersangkutan
dengan tertawa kecut lari menghindar dari depanku sebelum menjabat tanganku.
Kecewa juga aku saat itu tetapi tidak terlalu menjadi masalah karena dalam penilaiankiu
gadis itu tidak terlalu istimewa juga penampilannya.
Hari-hari berikutnya berlalu begitu
saja tanpa sesuatu yang berarti. Kesibukan mengajar yang cukup padat dengan
jumlah jam yang banyak membuat tidak sempat memikirkan hal-hal lain selain
mencurahkan segala perhatian kepada tugas sebagai guru. Sebagai guru muda yang yang mengajar di sekolah menengah
atas dimana rata-rata muridnya sudah menanjak dewasa cukup berat, karena
disamping harus menguasai materi pelajaran yang diajarkan juga harus bisa
menjaga diri untuk tidak terlalu dekat dengan para siswa agar bisa disegani dan
berwibawa. Hal ini merupakan suatu hal
yang dilematis, disatu sisi guru sebenarnya tidak boleh ditakuti oleh
siswa agar siswa dengan bebas bisa menyampaikan kesulitannya dalam belajar
tetapi disisi lain kewibawaan guru
harus selalu terjaga agar siswa
selalu menghargai guru dan tidak
main-main serta mau bersungguh-sungguh memperhatikan apa yang diajarkan. Aku
dikenal sebagai guru yang sangat disiplin dan menjaga jarak dengan siswa ,
apalagi dengan siswa wanita. Banyak guru, utamanya yang masih muda terkesan
tidak dihargai oleh siswa malah kadang-kadang menjadi bahan olok-olok karena penguasaan materi pelajaran yang
kurang atau karena terlalu dekat
dengan siswa.
Mata pelajaran Matematika yang kuajarkan
menjadi momok bagi sebagian siswa karena menganggap tingkat kesulitannya cukup
tinggi dan menganggap bahwa hanya orang yang pintar dan tinggi IQnya saja yang
mampu menguasai mata pelajaran ini, tetapi karena tercantum dalam
kurikulum dan harus diikuti serta
menentukan kenaikan kelas maka terpaksa harus diikuti. Pandangan bahwa
matematika sulit sebenarnya salah namun sudah tertanam dalam diri anak sejak
sekolah dasar. Seharusnya di sekolah dasar sudah terbentuk pengetahuan
matematika yang dasar juga menjadi landasan berpijak untuk melangkah
selanjutnya. Kebanyakan pengetahuan dasar itu tidak dikuasai murid yang menghambat langkah berikutnya apalagi
matematika adalah ilmu yang menganut hirarsi yang ketat seperti seorang yang
menaiki sebuah tangga, kalau sebuah anak tangga tidak dikuasai ( diinjak ) tentu
sulit melanjutkan ke anak tangga berikutnya. Apalagi kalau metode guru kurang
sesuai ditambah sikap yang kurang sabar dalam membimbing siswa maka itulah sebabnya sehingga muncul
anak-anak SMA dengan pengetahuan
matematika SD dan SLTP nya tidak tuntas.
Setiap pagi dan siang hari Ana harus
melewati jalan di depan mess guru tempat tinggalku dengan motor Suzukinya. Ia
seperti tak acuh dan tak pernah menoleh kearahku kalau sedang lewat.
Kadang-kadang sore hari dia lewat juga dan aku sempat melihatnya ketika aku sedang
duduk di teras mess.
Tahun 1976 datanglah dua orang guru
baru di SMA Negeri Barru yaitu pak Suyuti Safar dan pak Arbi , seorang guru
Ekonomi dan yang satunya guru sejarah. Pak Suyuti ternyata tinggal menyewa
dengan keluarganya di sebuah rumah di Sumpang Binangae, kebetulan rumah yang
dia sewa adalah kepunyaan Indo Tang yang merupakan ibu dari gadis Ana pegawai
Kantor Deppen yang selalu lewat di depan messku. Sejak pak Suyuti tinggal
disitu hampir setiap sore dan hari libur aku dan pak Arbi pergi menghabiskan
waktu memancing di sawah dan rawa sekitar rumahnya sehingga kadang-kadang berpapasan dengan gadis
itu.
Kehadiran pak Suyuti mebuat aku bisa
mengenal lebih jauh keadaan Ana dan keluarganya. Umur 10 bulan dia sudah
ditinggal mati oleh ayahnya sehingga dia tidak merasakan bagaimana kasih sayang
seorang ayah. Dia anak bungsu dari 3 orang bersaudara. Ayahnya berasal dari
Sangir Talaud , bertugas di Barru sebagai tentara yang kemudian kawin dengan
seorang gadis Barru yang bernama Indo Tang. Ayahnya adalah seorang muallaf,
masuk Islam akibat perkawinan ini. Ibunya seorang pekerja keras yang mendidik,
menghidupi anak-anak dan keluarganya dengan menjahit baju dan menyulam kain
serta segala macam keperluan sandang lainnya. Sebagai seorang janda yang hidup dari
gaji pensiun yang kecil dia mendidik dan
membesarkan anak-anaknya sebagai anak yang bisa
membantu orang tua mencari nafkah
disamping harus bersekolah. Demikianlah
sehingga anak-anaknya harus belajar di sekolah, bertani, bersawah dan sekaligus
menjahit dan menyulam. Kadang-kadang aku menjumpai gadis itu sedang mencangkul,
membelah kayu dan pekerjaan kasar lainnya, begitupula setiap sore dia naik
motor menjajakan hasil jahitan berupa baju, seprei dan barang-barang lainnya
kepada para tetangga atau kepada pegawai-pegawai yang berdiam di dalam kota dan
sekitar Sumpang Binangae. Pantaslah kalau hampir setiap sore aku melihat dia berkeliling
dengan motornya.Berkat kerja keras ibu dan anak itu membuat penghasilan
keluarganya cukup baik, seperti mampu membeli sawah, empang dan kebun serta
yang paling nampak adalah kemampuannya membeli sepeda motor yang masih terbilang
langka. Seingatku hanya tiga orang gadis yang mampu dibelikan motor oleh orang
tuanya yaitu Andi Nemmi anak Kapolres Barru, Satria anak Kepala Lalu lintas di
Polres dan dia Ana Lasru Gansalangi si anak janda itu. Memang masih jarang
orang yang mampu membeli sepeda motor ketika itu. Kelebihan soal materi ini
membuat ada rasa iri hati sebagian tetangga nya kepada keluarga ini.
Pada awal mengajar aku setiap hari
hanya berjalan kaki yang jaraknya sekitar 1 km , nantilah beberapa bulan
kemudian barulah bisa naik sepeda walaupun sebenarnya sepeda itu sudah kumiliki
sejak mengajar di SD Pembangunan Bawakaraeng Makassar. Sepeda itu dibawa oleh
ayahku dengan mengayuhnya dari Makassar sampai Segeri ( kira-kira 70 km ), di
Segeri baru sepeda dinaikkan ke mobil sewa. Ketika aku bertanya kepada ayahku mengapa
seperti itu, dijawab oleh ayahku bahwa awalnya dia mau mengayuhnya sampai ke
Barru tetapi khawatir ada penilaian yang kurang baik kepadaku kalau orang tahu
bahwa orang tuanya naik sepeda dari
Makassar ke Barru. Apalagi kedudukan sebagai guru SMA masih sangat dihargai
masyarakat sebagai kedudukan yang cukup terhormat. Sungguh hatiku merasa
terenyuh sampai saat ini jika mengingat pengorbanan ayahku itu.
Aku mulai mengajar di SMA Barru pada bulan januari
1975 walaupun SK pengangkatan pertama adalah 1 Desember 1974. Kedatanganku ke Barru ditemani oleh seorang sahabat yang
bernama Abdul Rauf Ali yang sama-sama alumni SPG Muhammadiyah Makassar,
sama-sama sarjana muda IKIP Makassar walaupun dia jurusan Fisika dan aku
jurusan Matematika, sama-sama sebagai tenaga guru honor di Madrasah Muallimin
Muhammadiyah Labuang Baji Makassar, dan juga sama-sama mengajar di SD Pembangunan
Bawakaraeng Makassar. Beliau menemaniku beberapa hari, kemudian disusul oleh
adikku Syahrul Hadi yang masih duduk di kelas 5 SD disuruh oleh orang tua menemani
aku, otomatis harus pindah sekolah dari
Makassar. Kalau difikir sebenarnya masih berat bagiku untuk menanggung dan
menyekolahkan seorang adik, tetapi didorong oleh rasa ingin membantu orang tua
hal itu kuterima saja. Tahun berikutnya aku menarik adikku yang sudah
bersekolah di kelas 2 SMA Nasional Makassar ke SMA Barru karena melihat kondisi
ekonomi orang tua cukup berat untuk membiayai sekolahnya. Apalagi bersekolah di
sekolah swasta pembayarannya lebih mahal dengan layanan pembelajaran relative
lebih rendah disbanding kalau bersekolah di sekolah negeri. Pengalaman menarik
ketika aku menghadap kepala SMA Barru menyampaikan keinginan memindahkan adikku
itu. Kepala sekolah menyampaikan bahwa sebenarnya tidak ada jalan untuk
perpindahan siswa dari sekolah swasta ke sekolah negeri, tetapi karena melihat
kesungguhanku dalam meminta, maka beliau bersedia mencarikan jalan. Akhirnya
adikku itu dapat juga diterima setelah menjalani tes penguasaan terhadap
beberapa mata pelajaran dimana yang mengetes adalah aku sendiri dan beberapa
teman guru lain yang merupakan teman baikku yah formalitaslah. Kepala Sekolah
mengatakan bahwa hal ini bisa dilakukan karena di Barru belum ada sekolah
swasta.
Kembali kepada ceritera mengenai
gadis Ana tadi, karena sering bertemu di rumah pak Suyuti maka beberapa waktu
kemudian aku memberanikan diri bertamu ke rumah gadis itu. Mula-mula selalu
ditemani oleh seorang teman guru tetapi
lama kelamaan aku sudah berani datang sendiri. Pernah dalam suatu kunjungan ke
rumahnya yang berbentuk rumah panggung kepalaku secara tak sengaja kepalaku terantuk
di salah satu balok penyangga lantai rumah yang dalam bahasa Makassar disebut
Pallangga. Menurut teman yang menemaniku, bahwa kejadian seperti itu menurut
orang-orang tua dulu biasanya sebagai pertanda bahwa aku akan menjadi penghuni
di rumah itu Tetapi aku tidak percaya ketika
itu.
Bukan hanya seorang gadis saja yang
kukenal, ada beberapa gadis lain termasuk seorang suster di rumah sakit Umum
Barru. Suster ini bertugas di ruang periksa dokter sehingga setiap aku ke
dokter selalu bertemu dengannya. Kepalaku yang sering pusing ternyata akibat tekanan
darahku berada di atas normal yang mengharuskan tiap minggu ke rumah sakit
berobat dan sekaligus bertemu dengan sang suster. Disamping itu diluar
kesadaranku banyak juga murid-muridku yang menaruh simpati, hal ini tergambar
dengan adanya undangan khusus kepadaku melalui teman guru atau murid lain
untuk makan ikan atau kegiatan rekreasi
lainnya. Setiap undangan aku penuhi namun
aku selalu menjaga jarak dengan mereka dan menganggap kegiatan-kegiatan seperti
itu sebagai hal yang biasa-biasa saja.
Setiap liburan yang agak panjang aku
selalu kembali ke Makassar, entah itu liburan semester, libur puasa atau libur
akhir tahun selalu ku manfaatkan untuk berkumpul dengan orang tua dan
adik-adik. Pada suatu liburan puasa menjelang
lebaran aku iseng-iseng mengirim kartu
lebaran kepada 3 orang gadis yaitu suster yang kusebutkan tadi kualamatkan ke
rumah sakit umum Barru, Andi Nemmi anak Kapolres, dan sang pegawai Deppen. Isinya
adalau ucapan selamat hari raya dan sejumlah kata basa-basi lainnya. Hasilnya
cukup menggembirakan karena mendapatkan
perhatian dari ketiganya. Perhatian ini
nampak setelah liburan usai dan kembali bertemu di Barru, sang suster melalui pak Yunus Balle
menyampaikan terima kasihnya dan memberi sinyal kalau aku mau bersungguh-sungguh dia bersedia
untuk mengenal lebih jauh. Andi Nemmi juga menyampaikan terima kasih dan meminta
kalau bisa ziarah ke rumahnya malah sempat membawakan kue-kue yang dititipkan
melalui salah seorang teman guru karena tidak sempat bertemu langsung. Gadis
yang ketiga juga menyampaikan terima kasih dan mengundang untuk berziarah ke
rumahnya.
Setelah berfikir matang-matang dan
karena dorongan orang tua untuk segera berumah tangga maka aku memilih Ana untuk menjalin hubungan lebih
jauh, apalagi dia seorang pegawai negeri dan juga memiliki sebuah motor. Aku
berharap setelah kawin nanti bisa
melanjutkan kuliahku ke program sarjana di IKIP Makassar yang kucita-citakan
sejak lama. Kemantapan itu muncul juga
karena suster di rumah sakit yang pertama kukenal ternyata sudah mempunyai
seorang pacar dan aku tak ingin membangun kebahagiaan di atas penderitaan orang
lain. Mengenai Andi Nemmi memang cukup sulit untuk kujangkau karena selain dia
anak seorang Kapolres dia juga seorang keturunan bangsawan. Aku berfikir dari mana
aku dan orang tuaku mengambil uang naik
yang berjuta kalau aku ingin melamarnya, aku tidak berani berangan-angan
terlalu jauh mengingat keadaan keluargaku yang hidup dengan pas-pasan.
Tidak cukup setahun kami berkenalan
aku sudah memperkenalkan dia kepada orang tua dan keluargaku di Makassar. Kami berpacaran tidak sama dengan anak muda pada
umumnya yang selalu bertemu dan pergi berdua. Dia tidak terlalu diberi
kebebasan oleh orang tuanya dan akupun sangat menjaga nama baikku sebagai
seorang guru. Ketika ke Makassar untuk berkenalan dengan orang tuaku kami
menyempatkan diri untuk duduk berdua di tanggul pantai Losari menikmati
dinginnya malam sebelum kuantar kembali ke famili tempatnya menginap. Seingatku
hanya sekali itu kami menikmati keadaan romantis seperti itu , selebihnya kami bertemu
hanya ketika aku berkunjung kerumahnya, itupun kadang-kadang ditemani oleh ibu
atau adik sepupunya.
Berkutnya proses pelamaran dilakukan,
pihak keluargaku diwakili oleh 3 orang masing-masing : iparku Drs. Abd.Kadir
Manyambeang seorang dosen Unhas, kepala sekolahku Sariman Syarif BA dan seorang
tokoh masyarakat yang bernama Andi Muhammad Gizim, pihak keluarganya diwakili
oleh Kepala kantornya yaitu M.Yushard Mattarima BA dan beberapa orang familinya
yang lain. Pelamaran itu berjalan mulus dalam artian pihak keluarga wanita
dapat menerima pinangan dariku walaupun sedikit terjadi ketidak sesuain tentang
jumlah uang yang harus diberikan kepada keluarga wanita. Tetapi ketidak sesuaian
itu dapat kuselesaikan secara informal beberapa hari kemudian.
Setelah proses pelamaran selesai
banyaklah suara-suara sumbang yang sampai ketelingaku. Antara lain menyatakan
bahwa calon isteriku itu sebenarnya bukan orang bugis , bapaknya beragama Keristen
dll. Yang paling mengejutkanku ada yang menganggap calon isteriku itu parakang
yaitu seorang gadis yang memakai ilmu hitam untuk mendapatkan harta dan selalu
mencari anak kecil khususnya bayi untuk diambil nyawanya sebagai tumbal serta
selalu mencari air buangan mencuci ( yang sudah hitam warnanya ) dalam bahasa
bugis disebut cemme untuk diisap. Adapula keluarga muridku yang kecewa utamanya
neneknya karena dianggapnya orang tuaku
sudah menyimpan kata ( melamar ) anaknya ketika ibu dan adikku berkunjung
ke rumahnya beberapa waktu sebelumnya. Pusing juga aku dibuatnya, tetapi
sekaligus ada rasa sedikit bangga karena ternyata banyak juga orang yang
berminat menjadikanku menantu. Segala rintangan aku selesaikan secara
baik-baik, melalui seorang teman guru aku minta tolong untuk menanyakan
langsung kepada muridku yang bernama Citra Dewi tentang perasaannya karena aku
tidak lama lagi akan kawin, ternyata nenek dan bibinya saja yang salah dalam
menafsirkan kedatangan adik perempuan dan ibuku ke rumahnya. Kabar menyangkut
calon isteriku adalah parakang kutepis dengan mengatakan bahwa sebagai orang matematika
aku ingin membuktikan apakah benar anggapan orang itu dengan kawin dengannya.
Ternyata kabar seperti ini dihembuskan oleh salah seorang tetangganya yang merasa
iri hati selama ini. Yah sekali layar
terkembang pantang surut kebelakang.
Persiapan acara perkawinan harus segera
kulakukan. Aku tidak mempunyai tabungan sama sekali, maklumlah sebagai pegawai
yang baru bertugas beberapa tahun, gajiku
masih kecil apalagi harus menanggung
sekolah 2 orang adik. Sungguh suatu hal yang cukup memprihatinkan. Aku tidak
tahu persis dari mana orang tua dan kakakku, utamanya iparku Drs.Abdul Kadir
Manyambeang mendapatkan dana penyelenggaraan perkawinanku. Yang disampaikan kepadaku
ialah bahwa untuk penyediaan cincin kawin ( kalau tidak salah terbuat dari emas
22 karat dengan berat 5 g r ) harus aku bayar secara menyicil selama 10 bulan
setelah perkawinan nanti. Aku merasa berutang budi sekali kepada seluruh
keluargaku utamanya kakak iparku itu.
Tanggal 10
juli 1977 pesta perkawinanpun diadakan dengan cukup meriah, didahului dengan
proses pengantaran pengantin laki-laki dari Makassar dilanjutkan dengan acara
akad nikah dan seterusnya resepsi perkawinan dari siang sampai jauh malam. Cukup
lelah juga berada di pelaminan, duduk dan berdiri menyalami para tamu yang
ratusan jumlahnya. Besoknya aku dan isteriku diantar ke Makassar untuk
menjalani resepsi perkawinan yang diadakan pihak keluargaku bertempat di rumah
kakakku yang terletak di kawasan Rappocini. Rumah kakakku itu itu terletak
dalam lorong tidak jauh dari kompleks kuburan bangsawan di daerah itu.
Setelah
menjadi suami isteri kami tinggal di mess guru SMA Barru. Sebenarnya pihak
orang tuanya menginginkan agar kami tinggal di rumahnya di Sumpang Binangae
tetapi aku tidak bersedia dengan alasan ingin mandiri membangun rumah tangga.
Aku berfikir kalau tinggal bersama mertua banyak masalahnya apalagi masih ada
seorang adikku yang bersekolah di SMP tinggal bersamaku.Setiap hari sebelum ke
kantor isteriku mempersiapkan makan pagi dan membuat teh manis untukku. Untuk
makan siang dia selalu menyempatkan diri
keluar kantor sebentar untuk berbelanja dan masak kemudian kembali lagi ke
kantor bekerja. Hal ini dilakukannya selama bertahun-tahun kami berumah tangga.
Pernah juga aku menanyakan prihal pulangnya setiap hari pada jam kerja , tetapi
ia menjawab bahwa tidak menjadi masaalah karena pekerjaan di kantor tidak
terlalu banyak apalagi dia naik motor sehingga dengan cepat bisa kembali ke
kantor kalau diperlukan. Hal lain yang selalu dilakukannya ialah kalau aku
sedang makan maka ia selalu duduk mendampingiku walaupun dirinya hanya sekedar
duduk saja karena mungkin sudah selesai makan atau sedang tidak berselera untuk
makan.
Tanggal 19 April
1978 lahir anak pertama yang kami beri nama Fadli Anwar seorang bayi laki-laki.
Sebenarnya nama ini terlalu pendek sehingga isteriku pada mulanya memprotes
kenapa begitu. Dia menginginkan anaknya diberi nama yang keren seperti nama
bintang film atau orang-orang terkenal lainnya, tetapi aku memberi alasan yang
cukup logis. Aku menceriterakan
pengalamanku yang diberi nama yang panjang dengan 3 buah nama yang
bersambung Anwar Mukhtar Luthfi, di rumah dan sekitarnya dikenal dengan nama
Anwar, di sekolah atau di kampus biasa dipanggil Luthfi dan kadang-kadang juga
dipanggil Mukhtar sehingga menimbulkan masalah, misalnya ada teman yang cari di
sekitar rumah dengan nama Luthfi sama
sekali tidak ada yang kenal, begitu juga sebaliknya. Perihal namaku yang
panjang pernah kutanyakan kepada ayahku yang bertanggung jawab dalam pemberian nama itu. Beliau menyampaikan bahwa
nama itu diberikan karena terinspirasi oleh nama seorang ulama yang dikaguminya,
pendiri Mesjid Raya Makassar yaitu KH
Mukhtar Luthfi dengan menambah nama Anwar didepannya yang berarti cahaya, mesjid
itu diletakkan batu pertama pembangunannya pada tahun 1949 sebelum hari
kelahiranku. Anakku kuberi nama Fadli Anwar yang berarti cahaya keutamaan
ditambah gelar sebagai orang Makassar yaitu Daeng Lurang. Aku terkesan oleh
nama pendiri IMMIM Makasar yaitu KH Fadli Luran. Kiyai ini adalah pendiri
lembaga pendidikan Islam yang bernama IMMIM yang berusaha menyatukan umat
Islam. Beliau melihat umat Islam di Sulawesi Selatan terpecah-pecah kedalam
berbagai organisasi utamanya NU dan
Muhammadiyah yang selalu bertentangan dalam mempersoalkan berbagai hal walaupun
hal kecil yang tidak terlalu prinsipil. Hal itu menimbulkan hubungan yang
kurang harmonis antara sesama umat. Beliau
ingin menjembatanil dengan membangun organisasi IMMIM yang berusaha
merangkul pihak-pihak tersebut.
Sesuai tekadku
dan didukung penuh istriku tahun 1978 aku mulai melanjutkan kembali kuliahku di
IKIP Makassar.Ketika mulai menjajaki maksud itu aku bertemu dengan seorang
mahasiswa jurusan matematika yang baru lulus sarjana muda bernama Jaali yang
sementara mencari teman untuk lanjut ke program sarjana karena program itu bisa
dibuka kalau mahasiswa yang mendaftar cukup 8 orang. Alhamdulillah dengan
mendaftarnya aku maka persyaratan itu bisa terpenuhi. Aku mengikuti kegiatan
perkuliahan, semester pertama 2 kali seminggu ke Makassar naik motor Suzuki
bebek milik isteriku. Pada semester ini dari 6 mata kuliah yang kuikuti hanya 2
yang bisa lulus, sedih dan kecewa dan mau mundur dari perkuliahan tetapi rasa
malu kepada teman-teman guru yang dari awal sudah meragukan malah sinis
terhadap kemauanku untuk kuliah lagi menjadi cambuk untuk tetap bertahan,.
semboyan sekali layar terkembang pantang surut kebelakang selalu terngiang
ditelinga. Betapa malunya ditertawakan semua orang kalau aku, mundur begitu
perasaanku. Semester kedua berjalan lancer, semua mata kuliah yang kuprogramkan
lulus , Tahun berikutnya mata pelajaran
yang jatuh semester 1 bisa kululusi ditambah pengambilan mata kuliah baru
sebanyak 6 mata kuliah semester 3 juga lulus semua. Sebenarnya kredit mata
kuliah yang kululusi lebih dari batas maksimal yang bisa diprogramkan tetapi
karena administrasi kurikulum di IKIP belum begitu bagus ( maklum sistim sks
baru diberlakukan ) maka semua itu bisa berjalan. Semangatku untuk
menyelesaikan kuliahku berkobar-kobar, apalagi sejak semester 2 motor Suzuki
isteriku sudah diganti dengan vespa cicilan dari koperasi kantor Deppen yang
tentunya lebih bagus dan lebih kuat. Kuliah di S1 dapat kuselesaikan dengan
waktu yang tidak terlalu lama, akhir tahun 1981 gelas Drs telah bertengger di
depan namaku menggantikan gelar BA yang kusandang selama ini. `
Sudah lazim
terjadi bahwa hidup dengan isteri dan ada adik ipar dalam suatu rumah tangga akan
menimbulkan gesekan-gesekan yang mempengaruhi hubungan berumah tangga apalagi
sejak kelahiran anak pertama kami. Kadang-kadang sampai ditelingaku laporan
tetangga sesama guru bahwa adikku kadang-kadang dimarahi habis-habisan oleh
isteriku kalau aku tidak berada di rumah.
Ketika hal itu aku konfirmasi kepada isteriku tentang hal itu dia memberi
alasan bahwa adikku itu selalu menceriterakan kekurangan-kekurangan kami kepada
para tetangga dan tetangga itu melaporkan kepadanya. Memang adikku itu selalu
berkunjung ke rumah tetangga ( sebenarnya kamar tetangga ) karena mess yang
kami tinggali itu terdiri dari 5 kamar berukuran 4x6m yang terasnya bersambung
jadi satu. Kamar-kamar itulah yang kami perluas dengan menambah bangunan
darurat ke belakang yang kemudian dijadikan
kamar tidur atau dapur sehingga dapat ditinggali sekeluarga. Bangunan tambahan ini hanya
berupa bangunan yang terbuat dari bambu dan papan. Aku dan isteriku
kadang-kadang bertengkar mengenai hal adikku ini. Aku membela adikku, keinginan untuk meringankan beban orang tua
sangat kuat dalam diriku. Setiap terjadi pertengkaran dia selalu pergi ke rumah
orang tuanya melapor, aku menduga masalahnya akan lebih parah kalau ibu
mertuaku sudah turut campur tangan. Tetapi ternyata ibu mertuaku cukup
bijaksana menanggapi hal ini dengan cara memaksa bahkan mengusir isteriku ( anaknya )
untuk kembali ke rumah ( mess ) kami setiap terjadi pertengkaran. Sikap ibu
mertuaku ini sangat menolong rumah tangga kami dan amat kuhargai dalam hatiku
sampai sekarang Tak bisa kubayangkan bagaimana nasib keluargaku, utamanya nasib
anak-anakku seandainya keluarga kami pecah gara-gara pertengkaran yang selalu
terjadi saat itu. Memang bagaimanapun
hebatnya pertengkaran antara suami isteri terjadi kalau mereka masih serumah
tentu tidak bertahan lama apalagi ada rasa malu kepada para tetangga. Laporan tentang seringnya terjadi percekcokan
antara aku dan isteriku karena persoalan adikku sampai juga ke telinga ibuku di Makassar yang berakibat adikku ditarik kembali ke Makassar.
Tanggal 28
Oktober 1982 lahir anak kedua kami
seorang perempuan yang bernama
Fithyani Anwar dengan nama gelaran Daeng Kebo karena bayi itu lahir
dengan kulit yang putih bersih. Sebenarnya ayahku mengusulkan nama Nur Fithyani
yang menurutnya berarti cahaya pemudi Indonesia tetapi aku memberinya nama
Fithyani Anwar yang artinya tetap sama yaitu cahaya pemuda Indonesia seperti
keinginan ayahku. Kelahiran ini berjarak cukup lama 4 tahun 6 bulan dengan
kelahiran kakaknya, merupakan hal yang disengaja untuk menjarangkan anak guna
mendukung program KB yang gencar dilakukan waktu itu. Sekaligus menghindari
trauma masa kecil keluargaku yang hidup serba kekurangan dengan saudara yang
cukup banyak. Isteriku memakan pil KB.
Kelahiran anak
kedua ini tentu membawa konsekuensi tersendiri. Kehidupan kami semakin sibuk,
isteriku Subuh hari sudah bangun memasak, membersihkan rumah dan memandikan
anak-anak. Aku juga tentu membantu dengan sebisanya. Selanjutnya , mengantar
kedua anak ke Sumpang Binangae untuk dititip di rumah neneknya selanjutnya
menurunkan aku di depan sekolah tempatku mengajar kemudian dia menuju ke
kantornya bekerja. Kegiatan ini rutin kami lakoni setiap hari. Aku menyadari
betapa berat beban kerja yang ditanggung isteriku. Isteriku memang pekerja
keras yang tidak pernah mengeluh. Kalau perempuan lain aku yakin tidak mampu melaksanakannya,
dia bisa melakukan ini karena sudah dididik bekerja keras sejak kecil oleh
ibunya.
Walaupun hidup
dimasa kecil yang serba kekurangan aku bangga mempunyai pasangan orang tua yang
betul-betul bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya. Kami dididik dengan
pendidikan agama secara ketat dan berusaha
disekolahkan ke pendidikan agama dan pendidikan umum. Orang tua kami
merupakan contoh bagi tentang ketaatan beragama dan prilaku kehidupan yang
baik. Kami dibesarkan dengan cucuran keringat orang tua, utamanya ayah yang
bekerja sebagai tukang ukur di kantor PU. Tak bisa dibayangkan berapa banyak
keringat yang tertumpah ketika beliau harus berjalan kaki, mendaki gunung,
menerobas hutan belantara, menyeberangi sungai ketika mengukur persiapan
pembuatan jalan raya dan pengairan di Sulawesi Selatan. Aku mengidolakan ayahku
karena rasa tanggung jawabnya yang begitu besar kepada isteri dan anak-anaknya.
Dia adalah sosok yang sangat mencintai isterinya dan sangat menyayangi
anak-anaknya. Aku ingin sekali memberikan kebahagiaan kepada mereka berdua
dengan membantu berupa pemberian materi yang agak lebih guna meringankan beban hidup mereka, apalagi dimasa
tua , tetapi karena penghasilanku juga sangat kurang hal ini tidak pernah
terwujud sampai beliau meninggal dunia. Dalam
hatiku aku berjanji akan meniru prilaku ayahku ini dengan mencintai isteri dan
anak-anakku juga sepenuh hati. Aku berusaha setia kepada isteriku dengan selalu
menjauhi hal-hal yang bisa mengurangi nilai kesetiaan itu, begitu juga bertanggung
jawab kepada masa depan anak-anakku.
Karirku
sebagai seorang guru juga cukup meningkat, mulai dari guru mata pelajaran biasa
kemudian dipercaya menjadi wali kelas, selanjutnya dipercaya menjadi anggota
seksi Kurikulum dan Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum. Setiap kegiatan di
sekolah selalu saja dipercaya untuk duduk dalam kepanitiaan seperti Penerimaan
Siswa Baru, EBTA/EBTANAS mulai dari anggota seksi, ketua seksi sampai
Sekretaris baik di tingkat sekolah maupun di tingkat Kabupaten. Begitu juga
dalam organisasi PGRI , mulai dari jabatan anggota, wakil Ketua Cabang (
tingkat Kecamatan ) ,Wakil Ketua Daerah di tingkat Kabupaten dan terakhir
sebagai Sekertaris Umum PGRI tingkat Kabupaten. Dari kegiatan berorganisasilah
sehingga bisa mengunjungi kota-kota seperti Semarang dan Palembang untuk
mengikuti kongres.
Pernah terjadi
sesuatu yang cukup merubah jalur nasibku. Ketika itu menjelang Konperda PGRI di
Tana Toraja, jabatanku ketika itu adalah Wakil Ketua Cabang yang harus memimpin
delegasi PGRI Cabang Barru karena Ketua Umum pak Latief Ali tidak sempat karena
harus mengikuti pelatihan dinas di Makassar. Di tengah persiapan itu tiba-tiba
ada pengawas mata pelajaran Matematika dari Makassar yang merekomendasikan agar aku ikut pelatihan Pemantapan Kerja Guru
di BPG Makassar. Aku beralasan bahwa ada tugas untuk memimpin delegasi PGRI ke Tator, tetapi oleh
beliau mengatakan bahwa terserah anda dan menambahkan bahwa kalau ketua
delegasi itu bisa saja diganti orang
lain tetapi mengikuti PKG ini menyangkut masa depanku sebagai guru dan ini
merupakan suatu kegiatan yang tidak semua guru diberikan kepercayaan. Setelah
menimbang lebih lanjut aku memutuskan untuk mengikuti kegiatan PKG tersebut.
Dan ternyata keputusan ini merupakan berkah tersendiri karena setelah mengikuti pelatihan ini selama beberapa bulan
secara In service training dan on service training aku terpilih menjad guru
inti yang bertugas membantu membimbing guru-guru matematika mulai dari Barru,
Pare-pare dan Sidrap. Setelah menjadi guru inti maka aku diberikan kesempatan
mengikuti pelatihan guru tingkat Nasional di Yogyakarta. Selanjutnya diberikan
kesempatan mengikuti Pelatihan Calon Instruktur dan seterusnya diangkat menjadi
Instruktur Guru matematika center Pare-pare yang membawahi daerah Barru,
Pare-pare, Pinrang, Polewali Mamasa, Majene, Mamuju , Sidrap, Tana Toraja,
Palopo,Enrekang dan Bone. Aku mengatakan berkah tersendiri karena dari
menjalankan pekerjaan ini aku mendapatkan tambahan penghasilan, dapat
mengunjungi tempat-tempat lain dalam daerah tugasku, pernah juga beberapa kali
ke Selayar, mengunjungi Yogyakarta, kadang-kadang ke Jakarta dan yang paling
membanggakan karena pernah diutus sebagai salah seorang perserta Short Training
Mathematical Teacher dikota Dundee Scotlandia selama 3 bulan. Dari kegiatan ini sehingga aku
bisa menginjakkan kaki di kota-kota
Edinburg, Glasgow, Seant Andrew, London dll. Ini merupakan kebanggan karena
diantara ratusan guru matematika yang ada di Indonesia aku termasuk 18 orang
guru yang beruntung dapat terpilih mengikuti program ini. Lebih-lebih untuk
ukuran Kabupaten Barru tentu masih
sangat langka mendapatkan guru yang dapat terpilih mengikuti pelatihan di
tingkat nasional lebih-lebih di tingkat Internasional.
Sebenarnya 4
tahun setelah kelahiran anak kedua, istriku melahirkan lagi anak ketiga
berjenis kelamin iaki-laki tetapi tidak sempat lahir dalam keadaan hidup karena
bidan terlalu percaya diri dan terlambat mengirim istriku ke rumah sakit yang
lebih memiliki alat-alat yang lengkap di Pare-pare. Maklum semua anakku
dilahirkan di rumah neneknya saja bukan di rumah sakit. Isteriku dibawa tengah
malam ke rumah sakit Fatima Pare-pare dengan meminjam mobil kepala sekolahku
Dra.Banri.Mobil ini tidak lama kemudian dijual pemiliknya, dianggap akan
membawa sial (sesuai kepercayaan orang bugis ) berhubung telah dipakai membawa mayat anakku kembali ke
Barru dari Pare-pare. Aku menyesal juga karena belum tahu kepercayaan itu.
Sebenarnya Kepala Sekolahku tidak pernah menyampaikan hal itu tetapi aku sendiri yang menduga-duga karena
merasa heran mengapa begitu cepat mobil itu dijual setelah kupinjam mengantar
isteriku dan membawa mayat anakku.
Waktu berjalan
terus, anak-anakku bertumbuh dengan sempurna, mereka selalu menduduki ranking yang terbaik di sekolahnya. Sebagai orang tua, merupakan kebanggaan
tersendiri berdiri mendampingi mereka setiap acara Penamatan sekolah baik di SD
maupun SMP karena mereka selalu menduduki peringkat I. Peringkat I ini tidak
selalu diduduki oleh anak-anakku dalam penerimaan rapor ketika semesteran atau
kenaikan kelas mungkin karena pada saat semesteran atau kenaikan kelas nilai
yang diberikan oleh guru masih sangat dominan yang menimbulkan tingkat
subyektifitas yang tinggi sedang nilai pada saat Ujian Akhir ( Ebtanas ) pada
saat kelas terakhir diperiksa secara komputerisasi sehingga tingkat
obyektifitasnya lebih bagus karena tidak bisa direkayasa. Maklum kedudukanku
sebagai seorang guru kurang begitu bernilai dibandingkan orang tua lain yang
kedudukannya sebagai Kepala Dinas atau pejabat lain. Isteriku kadang-kadang
memperotes subyektifitas dalam pemberian nilai ini ke sekolah, apalagi kalau ada bocoran-bocoran
dari dalam sekolah sendiri yang mengungkapkan adanya ketidak beresan pemberian nilai
rapor khususnya kepada anaknya, tetapi aku sebagai seorang guru selalu memperingatkannya
untuk bersabar saja karena kalau anak kami memang pintar tentu akan kelihatan
pada saat penilaian Ebtanas ( Ujian akhir ) yang diperiksa langsung oleh
computer. Alhamdulillah hal itu terbukti karena kedua anakku menjadi peraih
Nilai Ebtanas Murni ( NEM ) tingkat SLTP
se Kabupaten Barru sesuai tahun penamatannya masing-masing.Berkat perolehan
nilai tertinggi di tingkat Kabupaten inilah yang membuat kedua anakku mendapat
kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di SMA paforit di tingkat propinsi dan nasional tanpa biaya
orang tua
Anak pertamaku
lulus SMP bertepatan dengan adanya berita di surat kabar yang sempat kubaca
bahwa Aksa Mahmud seorang pengusaha asal Sulawesi Selatan ingin membiayai
anak-anak terbaik asal Sulawesi Selatan untuk disekolahkan di salah satu SMA
Faporit di Bandung agar kelak bisa lebih mudah lulus masuk ke ITB Bandung .
Berita ini kusampaikan kepada isteriku dan disambut dengan gembira, bersama-sama kami ke Makassar mengantar
fotocopy rapor SD dan SMP serta fotocopy
Ijazah SMP untuk selanju tnya diteliti oleh sebuah Tim di SD Pembangunan
Monginsidi keaslian dan kelayakannya untuk diterima dalam program ini. Hampir
setiap 3 hari kami bersama-sama dengan motor vespa pergi pulang Barru-Makassar
untuk mempertanyakan kelanjutannya. Tidak pernah aku dibiarkan pergi sendiri dia
selalu harus ikut. Kegelisahan meliputi
kami berdua karena proses pendaftaran siswa SMA di Makassar segera berakhir
padahal belum ada kejelasan pasti tentang program ke Bandung itu, serba salah jadinya karena mau mendaftar di SMA yang ada
di Makassar sambil menunggu kepastian ke Bandung tidak memungkinkan juga karena Ijazah dan NEM asli sudah di stor
ke TIM. Puncak kegelisahan kami terjadi
ketika untuk kesekian kalinya kami menanyakan kepada TIM dan ternyata dijawab
bahwa rombongan anak-anak sudah berangkat ke Bandung kemarin sore dengan kapal
laut serta membawa semua berkas yang
sudah di stor, katanya mereka sudah berusaha menguhubungi tetapi tidak tahu
harus menghubungi ke mana karena tidak ada nomor telepon yang diketahui untuk
memberi kabar. Mereka memberikan harapan bahwa tidak ada masalah, anak-anak
yang berangkat ke Bandung juga
sebenarnya masih mau di urus lebih lanjut disana belum langsung masuk sekolah,
kami akan diberi kabar dan segera diberangkatkan kalau memang sudah ada
kepastian. Bingung juga kami dibuatnya, tetapi berbekal pengalamanku pulang
balik ke Jawa maka aku berfikir, kalau rombongan baru berangkat kemarin malam dengan
kapal laut, tentu masih bisa diburu kalau berangkat dengan kapal terbang. Tetapi kami tidak punya uang pembeli
tiket , mau meminjam uang dimana dan siapa yang mau meminjamkan uang. Akhirnya
isteriku merelakan perhiasan emasnya saja yang dijual untuk dipakai sebagai
biaya perjalanan. Tanpa berfikir panjang kami pulang ke Barru mempersiapkan keberangkatanku dengan si Fadli
ke Bandung. Esok paginya aku dengan
anakku telah berada diangkasa menuju ke kota Surabaya.Hitung-hitung menghemat
biaya maka naik pesawat sampai Surabaya saja kemudian dilanjutkan dengan naik
bus Kramat Jati. Alhamdulillah semuanya berjalan sesuai rencana, pagi hari ketika sampai ke rumah tempat
rombongan menginap kami mendapat
informasi bahwa mereka juga baru tiba dari Jakarta tadi subuh Sekali lagi Alhamdulillah.
Selanjutnya
aku diajak oleh pak Roel Sanre ( anggota tim ) yang mengantar rombongan ke
Bandung menemui pak Aksa Mahmud di salah satu
hotel besar di kota Bandung, untuk berbicara langsung dengan beliau.
Seterusnya menuju ke SMA 3 Bandung untuk bertemu dengan Kepala Sekolahnya.
Sempat juga kurang enak perasaanku karena kelihatannya pihak sekolah rupanya
belum ada keputusan apakah mau menerima anak-anak dari Makassar atau tidak
dengan alasan bahwa kegiatan PSB sudah selesai apalagi adanya Edaran Kakanwil
Jawa Barat yang melarang menerima siswa baru dari luar Jawa Barat kecuali yang
memang orang tuanya berdomisili di Bandung. Aku bertambah khawatir tetapi pak
Roel Sanre meyakinkan ku bahwa semua anak-anak itu pasti diterima sembari
memperlihatkan nota dari Prof.Dr.Hasan Walinono Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI yang ditujukan kepada Kakanwil Depdikbud Jawa
Barat dan juga nota dari Gubernur
Sulawesi Selatan Prof.Dr.Ahmad Amiruddin kepada Gubernur Jawa Barat Yogi SM
yang isinya agar beliau bisa membantu agar anak-anak dari Makassar itu bisa
diterima bersekolah di SMA yang ada di Bandung. Hari itu juga aku harus pulang
ke Surabaya dan seterusnya naik kapal laut ke Makassar karena tugasku sebagai
guru di SMA Barru juga harus kutunaikan tanpa membawa kepastian apakah anakku
diterima atau tidak bersekolah di Bandung. Tetapi syukur Alhamdulillah beberapa
hari kemudian sudah ada kabar dari pak Roel Sanre bahwa anak-anak itu sudah
diterima bersekolah di SMA Negeri 3 Bandung. Sekolah yang menjadi tujuan siswa
dari seluruh Indonesia untuk bersekolah karena sudah menjadi kenyataan bahwa
kalau dari SMA 3 ke ITB sama dengan pindah kelas saja alias mudah. Itulah
sampai Pemda di Jawa Barat mempersempit kesempatan anak2 luar Jawa Barat masuk
ke SMA-SMA paforit khususnya SMA 3 Bandung karena kalau tidak kursi-kursi SMA 3
akan diduduki oleh orang-orang luar Jawa Barat dan otomatis kesempatan masuk
ITB akan berkurang untuk anak-anak Jawa
Barat sendiri.
Sesuai janji
yang diberikan, selama bersekolah di SMA dan bahkan kalau anak-anak itu bisa
masuk ke ITB atau beberapa perguruan
tinggi ternama di Jawa maka seluruh biaya asrama, makan dan uang sekolah akan
ditanggung oleh yayasan, orang tua hanya dibebani untuk mengirim uang saku
sekedarnya. Alhamdulillah si Fadli dibiayai sekolahnya selama di SMA sampai setahun sebelum tamat di ITB saja
karena di tahun terakhir ada krisis ekonomi yang menimpa Indonesia yang
berdampak juga kepada perusahaan pak
Aksa Mahmud. Walaupun demikian aku sudah bersyukur dan berterima kasih sekali atas
bantuan pak Aksa Mahmud itu, mudah-mudahan Allah membalasnya.
Setamat SMA
Fadl lulus di jurusan Teknik Industri ITB sesuai pilihannya.Ketika aku
menanyakan alasannya memilih jurusan itu dengan enteng saja dia menjawab untuk
menguji kemampuannya karena pada UMPTN tahun sebelumnya jurusan teknik
industrilah yang paling tinggi passing gradenya ( tingkat persaingannya tinggi
).
Ketika anak
keduaku tamat SMP NEMnya juga tertinggi di Kabupaten Barru sehingga berhak
menjadi salah satu utusan Daerah Barru untuk bersekolah di SMA Andalan Sulawesi
Selatan di Kec.Tinggi Moncong Malino dengan biaya dari Pemda. Dia ditunjuk bersama
dengan seorang anak SMP Tanete Rilau yang bernama Akmal. Disekolah ini seluruh
siswa diasramakan karena itulah sehingga setiap hari minggu aku dan isteriku
membesuk anak itu di sekolahnya, kami selalu datang bersama kecuali kalau ada
keperluan lain yang mengharuskan kami tidak bisa datang bersama , tetapi hal
ini jarang terjadi. Kami tidak punya mobil sendiri sehingga untuk mencapai
sekolah itu kami harus beberapa kali ganti kendaraan . Pertama-tama naik becak
dari rumah ke jalan poros menunggu dan mengendarai kendaraan umum yang umumnya mobil panter atau bus menuju ke Makassar,
turun di terminal Daya, nyambung pete-pete ( angkot) jurusan pasar sentral dan
turun di jalan Bawakaraeng sebelum persimpangan jalan Jenderal Sudirman, naik
angkot lagi jurusan Sunggu Minasa ( warna merah ) dan turun di suatu terminal
kecil dalam pasar Sunggu minasa menunggu mobil angkot lagi ke jurusan Malino.
Biasanya disini menunggu sampai beberapa jam karena mobil tidak akan bergerak
kalau muatannya tidak penuh sesak, 10 orang di bagian belakang dan 2 orang
duduk dekat sopir.
Perjalanan ke
Malino cukup melelahkan karena disamping mobil yang ditumpangi ukurannya kecil
dan penuh sesak juga situasi jalan yang
menanjak dan berkelok-kelok membuat sopir selalu menginjak rem . Setiap
berkunjung kesana pasti isteriku muntah-muntah tetapi hal ini tidak membuat dia
jera, rasanya keadaan itu bukan merupakan rintangan bagi dia untuk bertemu
anaknya. Tiga tahun kegiatan ini
dilakukan selama Fithy belajar di SMA itu.
Sesuai program
yang berlaku waktu itu, pemilihan jurusan di SMA dilakukan setelah naik ke
kelas 2, dia memilih jurusan IPS. Ketika aku menanyakan prihal mengapa memilih
jurusan itu dia menjawab bahwa dia terlanjur merasa tidak senang kepada mata
pelajaran Fisika akibat guru Fisikanya di kelas I kurang jelas cara mengajarnya. Isteriku sebenarnya kurang setuju dengan
pilihannya itu karena pada umumnya orang
menganggap bahwa jurusan IPS itu lebih rendah dari IPA, tetapi aku sebagai
seorang guru tidak ingin memaksakan anakku untuk memilih jurusan IPA karena
khawatir dia akan mengalami kesulitan dalam kelanjutan studinya. Aku meyakinkan
isteriku akan hal itu yang pada akhirnya dia terpaksa menerimnya.
Sebenarnya aku
heran juga mengapa ada sekolah unggulan yang membuka jiurusan IPS apalagi
sekolah unggulan di tingkat propinsi. Biasanya sekolah-sekolah unggulan hanya
membuka jurusan IPA saja karena murid-muridnya tentu saja adalah anak-anak yang
kepandaiannya di atas rata-rata. Seperti SMA N 3 Bandung tempat si Fadli
sekolah, diantara 11 kelas 3 , 10 kelas
Program Fisika dan hanya satu kelas program Biologi sedangkan jurusan IPS tidak
ada sama sekali. Tahun berikutnya di SMAN Tinggi Moncong Malino tidak dibukalagi
jurusan IPS hanya jurusan IPA saja.
Setelah tamat
SMA, Fithy meminta pendapatku tentang jurusan apa yang akan dipilih dalam UMPTN
karena dia ingin juga sekolah di
Bandung. Aku mencoba mendampinginya meneliti daftar program da jurusan yang ada dalam buku
petunjuk UMPTN yang diperolehnya ketika membeli formulir pendaftaran. Pada
akhirnya kami sepakat memilih jurusan Bahasa Jepang di Universitas Pajajaran
sebagai pilihan pertama dan jurusan Ekonomi Akuntansi Universitas Hasanuddin
sebagai pilihan kedua.Alhamdulillah dia bisa lulus pada pilihan pertamanya
dalam UMPTN itu yang akibatnya dia harus melanjutkan studi di kota Bandung. Yah
apa boleh buat kami harus berpisah jauh
lagi dengan anak kedua kami. Banyak orang termasuk kerabat dekat yang
mempertanyakan kepada isteriku tentang keputusan kami mengizinkan anak
perempuan kami kuliah jauh dari orang tua, tetapi selalu dijawab olehnya bahwa
anaknya itu pergi menuntut ilmu , mencari kebaikan dan amat yakin bahwa Tuhan
akan selalu melindungi.
Kami berangkat
dengan kapal laut menuju Surabaya dan
selanjutnya naik bus ke Bandung. Di
kapal laut dari Makassar menumpang banyak
anak tamatan SMA di Makassar yang lulus UMPTN di Perguruan-perguruan tinggi di
Jawa . Lulusan SMAN Tnggi Moncong saja berjumlah lebih dari 10 orang yang ikut,
mereka ada yang lulus di ITS, Unair, UGM
, UI , ITB dan Universitas Pajajaran
Aku bersama isteriku mengantar Fithy untuk
mendaftar ulang di gedung pertemuan Universitas Pajajaran di jalan Dipati Ukur
Bandung. Kamii mengikuti dan mendampingi selama beberapa hari sampai proses
pendaftaran selesai termasuk mencarikan
kamar kost di Jatinangor.
.