2013/04/26

KISAH HIDUP DENGAN ISTRIKU

KISAH HIDUP DENGAN ISTERIKU
Nama lengkapnya adalah Ana Lasru Gansalangi, lahir di Barru tanggal 22 Pebruari 1952.  Nama ini sama sekali asing ditelingaku pada waktu pertama kali aku mengetahuinya. Kenapa yah ada nama seperti itu di tanah Barru padahal dia mengaku sebagai orang bugis ?, pertanyaan ini terlintas di otakku. Pantaslah kalau orang-orang disekitarku ketika itu khususnya di SMA Negeri Barru cukup menyayangkan mengapa aku memilih gadis itu sebagai calon isteriku.
Aku pertama kali bertemu dengannya di stand kantor Departemen Penerangan (Deppen) Kabupaten Barru dalam arena Pekan Pembangunan yang setiap bulan Agustus  diadakan sebagai rangkaian peringatan Ulang tahun Kemerdekaan RI. Pameran pembangunan ini diisi oleh stand-stand dari semua instansi, sekolah-sekolah Menengah, kantor-kantor kecamatan se Kabupaten Barru dll. Kegiatan pameran ini salah satu tujuannya adalah memberikan informasi kepada masyarakat tentang hasil-hasil pembangunan  yang telah dicapai oleh pemerintah selama ini disamping itu juga merupakan sarana hiburan bagi masyarakat.Pengunjungnya sangat membludak setiap malam. Memang asal ada keramaian yang diadakan di Barru selalu  mengundang banyak penonton walaupun hanya pesta perkawinan misalnya, apa lagi kalau menghadirkan orkes yang  berirama dangdut sangatlah digemari, utamanya bagi kaum muda-mudi. Hal itu bisa dimaklumi karena acara-acara hiburan boleh dikata tidak tersedia di ibu kota Kabupaten ini. Bisa dibayangkan betapa haus masyarakat akan hiburan karena bioskop satupun tidak ada apalagi sarana hiburan lain. Sebenarnya pernah juga ada bioskop tetapi karena petugas jaga sangat murah hati dengan menggratiskan biaya masuk bagi kenalan dan keluarganya maka tak lama bioskop itu sudah ditutup karena bangkrut.  Malam itu aku diperkenalkan  oleh seorang teman guru yang bernama pak Syamsuddin Arif yang isterinya bekerja di Kantor Deppen, dengan cara memegang tanganku dia mengajak berkenalan dengan seorang gadis yang merupakan salah seorang penjaga stand yang juga pegawai Deppen. Anehnya gadis yang bersangkutan dengan tertawa kecut lari menghindar dari depanku sebelum menjabat tanganku. Kecewa juga aku saat itu tetapi tidak terlalu menjadi masalah karena dalam penilaiankiu gadis itu tidak terlalu istimewa juga penampilannya.
Hari-hari berikutnya berlalu begitu saja tanpa sesuatu yang berarti. Kesibukan mengajar yang cukup padat dengan jumlah jam yang banyak membuat tidak sempat memikirkan hal-hal lain selain mencurahkan segala perhatian kepada tugas sebagai guru. Sebagai guru  muda yang yang mengajar di sekolah menengah atas dimana rata-rata muridnya sudah menanjak dewasa cukup berat, karena disamping harus menguasai materi pelajaran yang diajarkan juga harus bisa menjaga diri untuk tidak terlalu dekat dengan para siswa agar bisa disegani dan berwibawa. Hal ini merupakan suatu hal  yang dilematis, disatu sisi guru sebenarnya tidak boleh ditakuti oleh siswa agar siswa dengan bebas bisa menyampaikan kesulitannya dalam belajar tetapi disisi lain kewibawaan guru  harus  selalu terjaga agar siswa selalu menghargai guru  dan tidak main-main serta mau bersungguh-sungguh memperhatikan apa yang diajarkan. Aku dikenal sebagai guru yang sangat disiplin dan menjaga jarak dengan siswa , apalagi dengan siswa wanita. Banyak guru, utamanya yang masih muda terkesan tidak dihargai oleh siswa malah kadang-kadang menjadi bahan olok-olok  karena penguasaan materi pelajaran yang kurang atau karena  terlalu dekat dengan  siswa.
Mata pelajaran Matematika yang kuajarkan menjadi momok bagi sebagian siswa karena menganggap tingkat kesulitannya cukup tinggi dan menganggap bahwa hanya orang yang pintar dan tinggi IQnya saja yang mampu menguasai mata pelajaran ini, tetapi karena tercantum dalam kurikulum  dan harus diikuti serta menentukan kenaikan kelas maka terpaksa harus diikuti. Pandangan bahwa matematika sulit sebenarnya salah namun sudah tertanam dalam diri anak sejak sekolah dasar. Seharusnya di sekolah dasar sudah terbentuk pengetahuan matematika yang dasar juga menjadi landasan berpijak untuk melangkah selanjutnya. Kebanyakan pengetahuan dasar itu tidak dikuasai murid  yang menghambat langkah berikutnya apalagi matematika adalah ilmu yang menganut hirarsi yang ketat seperti seorang yang menaiki sebuah tangga, kalau sebuah anak tangga tidak dikuasai ( diinjak ) tentu sulit melanjutkan ke anak tangga berikutnya. Apalagi kalau metode guru kurang sesuai ditambah sikap yang kurang sabar dalam membimbing  siswa maka itulah sebabnya sehingga muncul anak-anak  SMA dengan pengetahuan matematika SD dan SLTP nya tidak tuntas.
Setiap pagi dan siang hari Ana harus melewati jalan di depan mess guru tempat tinggalku dengan motor Suzukinya. Ia seperti tak acuh dan tak pernah menoleh kearahku kalau sedang lewat. Kadang-kadang sore hari dia lewat juga dan aku sempat melihatnya ketika aku sedang duduk di teras mess.  
Tahun 1976 datanglah dua orang guru baru di SMA Negeri Barru yaitu pak Suyuti Safar dan pak Arbi , seorang guru Ekonomi dan yang satunya guru sejarah. Pak Suyuti ternyata tinggal menyewa dengan keluarganya di sebuah rumah di Sumpang Binangae, kebetulan rumah yang dia sewa adalah kepunyaan Indo Tang yang merupakan ibu dari gadis Ana pegawai Kantor Deppen yang selalu lewat di depan messku. Sejak pak Suyuti tinggal disitu hampir setiap sore dan hari libur aku dan pak Arbi pergi menghabiskan waktu memancing di sawah dan rawa sekitar rumahnya  sehingga kadang-kadang berpapasan dengan gadis itu.
Kehadiran pak Suyuti mebuat aku bisa mengenal lebih jauh keadaan Ana dan keluarganya. Umur 10 bulan dia sudah ditinggal mati oleh ayahnya sehingga dia tidak merasakan bagaimana kasih sayang seorang ayah. Dia anak bungsu dari 3 orang bersaudara. Ayahnya berasal dari Sangir Talaud , bertugas di Barru sebagai tentara yang kemudian kawin dengan seorang gadis Barru yang bernama Indo Tang. Ayahnya adalah seorang muallaf, masuk Islam akibat perkawinan ini. Ibunya seorang pekerja keras yang mendidik, menghidupi anak-anak dan keluarganya dengan menjahit baju dan menyulam kain serta segala macam keperluan sandang lainnya. Sebagai seorang janda yang hidup dari gaji pensiun yang  kecil dia mendidik dan membesarkan anak-anaknya sebagai anak yang bisa  membantu orang tua  mencari nafkah  disamping harus bersekolah. Demikianlah sehingga anak-anaknya harus belajar di sekolah, bertani, bersawah dan sekaligus menjahit dan menyulam. Kadang-kadang aku menjumpai gadis itu sedang mencangkul, membelah kayu dan pekerjaan kasar lainnya, begitupula setiap sore dia naik motor menjajakan hasil jahitan berupa baju, seprei dan barang-barang lainnya kepada para tetangga atau kepada pegawai-pegawai yang berdiam di dalam kota dan sekitar Sumpang Binangae. Pantaslah kalau  hampir setiap sore aku melihat dia berkeliling dengan motornya.Berkat kerja keras ibu dan anak itu membuat penghasilan keluarganya cukup baik, seperti mampu membeli sawah, empang dan kebun serta yang paling nampak adalah kemampuannya membeli sepeda motor yang masih terbilang langka. Seingatku hanya tiga orang gadis yang mampu dibelikan motor oleh orang tuanya yaitu Andi Nemmi anak Kapolres Barru, Satria anak Kepala Lalu lintas di Polres dan dia Ana Lasru Gansalangi si anak janda itu. Memang masih jarang orang yang mampu membeli sepeda motor ketika itu. Kelebihan soal materi ini membuat ada rasa iri hati sebagian tetangga nya kepada keluarga ini.
Pada awal mengajar aku setiap hari hanya berjalan kaki yang jaraknya sekitar 1 km , nantilah beberapa bulan kemudian barulah bisa naik sepeda walaupun sebenarnya sepeda itu sudah kumiliki sejak mengajar di SD Pembangunan Bawakaraeng Makassar. Sepeda itu dibawa oleh ayahku dengan mengayuhnya dari Makassar sampai Segeri ( kira-kira 70 km ), di Segeri baru sepeda dinaikkan ke mobil sewa. Ketika aku bertanya kepada ayahku mengapa seperti itu, dijawab oleh ayahku bahwa awalnya dia mau mengayuhnya sampai ke Barru tetapi khawatir ada penilaian yang kurang baik kepadaku kalau orang tahu bahwa orang tuanya  naik sepeda dari Makassar ke Barru. Apalagi kedudukan sebagai guru SMA masih sangat dihargai masyarakat sebagai kedudukan yang cukup terhormat. Sungguh hatiku merasa terenyuh sampai saat ini jika mengingat pengorbanan ayahku itu.
Aku  mulai mengajar di SMA Barru pada bulan januari 1975 walaupun SK pengangkatan pertama adalah 1 Desember 1974. Kedatanganku  ke Barru ditemani oleh seorang sahabat yang bernama Abdul Rauf Ali yang sama-sama alumni SPG Muhammadiyah Makassar, sama-sama sarjana muda IKIP Makassar walaupun dia jurusan Fisika dan aku jurusan Matematika, sama-sama sebagai tenaga guru honor di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Labuang Baji Makassar, dan juga sama-sama mengajar di SD Pembangunan Bawakaraeng Makassar. Beliau menemaniku beberapa hari, kemudian disusul oleh adikku Syahrul Hadi yang masih duduk di kelas 5 SD disuruh oleh orang tua menemani aku,  otomatis harus pindah sekolah dari Makassar. Kalau difikir sebenarnya masih berat bagiku untuk menanggung dan menyekolahkan seorang adik, tetapi didorong oleh rasa ingin membantu orang tua hal itu kuterima saja. Tahun berikutnya aku menarik adikku yang sudah bersekolah di kelas 2 SMA Nasional Makassar ke SMA Barru karena melihat kondisi ekonomi orang tua cukup berat untuk membiayai sekolahnya. Apalagi bersekolah di sekolah swasta pembayarannya lebih mahal dengan layanan pembelajaran relative lebih rendah disbanding kalau bersekolah di sekolah negeri. Pengalaman menarik ketika aku menghadap kepala SMA Barru menyampaikan keinginan memindahkan adikku itu. Kepala sekolah menyampaikan bahwa sebenarnya tidak ada jalan untuk perpindahan siswa dari sekolah swasta ke sekolah negeri, tetapi karena melihat kesungguhanku dalam meminta, maka beliau bersedia mencarikan jalan. Akhirnya adikku itu dapat juga diterima setelah menjalani tes penguasaan terhadap beberapa mata pelajaran dimana yang mengetes adalah aku sendiri dan beberapa teman guru lain yang merupakan teman baikku yah formalitaslah. Kepala Sekolah mengatakan bahwa hal ini bisa dilakukan karena di Barru belum ada sekolah swasta.
Kembali kepada ceritera mengenai gadis Ana tadi, karena sering bertemu di rumah pak Suyuti maka beberapa waktu kemudian aku memberanikan diri bertamu ke rumah gadis itu. Mula-mula selalu ditemani oleh seorang teman guru  tetapi lama kelamaan aku sudah berani datang sendiri. Pernah dalam suatu kunjungan ke rumahnya yang berbentuk rumah panggung kepalaku secara tak sengaja kepalaku terantuk di salah satu balok penyangga lantai rumah yang dalam bahasa Makassar disebut Pallangga. Menurut teman yang menemaniku, bahwa kejadian seperti itu menurut orang-orang tua dulu biasanya sebagai pertanda bahwa aku akan menjadi penghuni di rumah itu  Tetapi aku tidak percaya ketika itu.
Bukan hanya seorang gadis saja yang kukenal, ada beberapa gadis lain termasuk seorang suster di rumah sakit Umum Barru. Suster ini bertugas di ruang periksa dokter sehingga setiap aku ke dokter selalu bertemu dengannya. Kepalaku yang sering pusing ternyata akibat tekanan darahku berada di atas normal yang mengharuskan tiap minggu ke rumah sakit berobat dan sekaligus bertemu dengan sang suster. Disamping itu diluar kesadaranku banyak juga murid-muridku yang menaruh simpati, hal ini tergambar dengan adanya undangan khusus kepadaku melalui teman guru atau murid lain untuk  makan ikan atau kegiatan rekreasi lainnya. Setiap undangan aku penuhi  namun aku selalu menjaga jarak dengan mereka dan menganggap kegiatan-kegiatan seperti itu sebagai hal yang biasa-biasa saja.  
Setiap liburan yang agak panjang aku selalu kembali ke Makassar, entah itu liburan semester, libur puasa atau libur akhir tahun selalu ku manfaatkan untuk berkumpul dengan orang tua dan adik-adik. Pada suatu liburan puasa  menjelang lebaran aku iseng-iseng  mengirim kartu lebaran kepada 3 orang gadis yaitu suster yang kusebutkan tadi kualamatkan ke rumah sakit umum Barru, Andi Nemmi anak Kapolres, dan sang pegawai Deppen. Isinya adalau ucapan selamat hari raya dan sejumlah kata basa-basi lainnya. Hasilnya cukup menggembirakan karena  mendapatkan perhatian dari ketiganya. Perhatian ini  nampak setelah liburan usai dan kembali bertemu di Barru,  sang suster melalui pak Yunus Balle menyampaikan terima kasihnya dan memberi sinyal  kalau aku mau bersungguh-sungguh dia bersedia untuk mengenal lebih jauh. Andi Nemmi  juga menyampaikan terima kasih dan meminta kalau bisa ziarah ke rumahnya malah sempat membawakan kue-kue yang dititipkan melalui salah seorang teman guru karena tidak sempat bertemu langsung. Gadis yang ketiga juga menyampaikan terima kasih dan mengundang untuk berziarah ke rumahnya.
Setelah berfikir matang-matang dan karena dorongan orang tua untuk segera berumah tangga maka aku  memilih Ana untuk menjalin hubungan lebih jauh, apalagi dia seorang pegawai negeri dan juga memiliki sebuah motor. Aku berharap setelah kawin nanti  bisa melanjutkan kuliahku ke program sarjana di IKIP Makassar yang kucita-citakan sejak lama. Kemantapan  itu muncul juga karena suster di rumah sakit yang pertama kukenal ternyata sudah mempunyai seorang pacar dan aku tak ingin membangun kebahagiaan di atas penderitaan orang lain. Mengenai Andi Nemmi memang cukup sulit untuk kujangkau karena selain dia anak seorang Kapolres dia juga seorang keturunan bangsawan. Aku berfikir dari mana aku dan orang tuaku  mengambil uang naik yang berjuta kalau aku ingin melamarnya, aku tidak berani berangan-angan terlalu jauh mengingat keadaan keluargaku yang hidup dengan pas-pasan.
Tidak cukup setahun kami berkenalan aku sudah memperkenalkan dia kepada orang tua dan keluargaku di Makassar. Kami  berpacaran tidak sama dengan anak muda pada umumnya yang selalu bertemu dan pergi berdua. Dia tidak terlalu diberi kebebasan oleh orang tuanya dan akupun sangat menjaga nama baikku sebagai seorang guru. Ketika ke Makassar untuk berkenalan dengan orang tuaku kami menyempatkan diri untuk duduk berdua di tanggul pantai Losari menikmati dinginnya malam sebelum kuantar kembali ke famili tempatnya menginap. Seingatku hanya sekali itu kami menikmati keadaan romantis seperti itu , selebihnya kami bertemu hanya ketika aku berkunjung kerumahnya, itupun kadang-kadang ditemani oleh ibu atau adik sepupunya.
Berkutnya proses pelamaran dilakukan, pihak keluargaku diwakili oleh 3 orang masing-masing : iparku Drs. Abd.Kadir Manyambeang seorang dosen Unhas, kepala sekolahku Sariman Syarif BA dan seorang tokoh masyarakat yang bernama Andi Muhammad Gizim, pihak keluarganya diwakili oleh Kepala kantornya yaitu M.Yushard Mattarima BA dan beberapa orang familinya yang lain. Pelamaran itu berjalan mulus dalam artian pihak keluarga wanita dapat menerima pinangan dariku walaupun sedikit terjadi ketidak sesuain tentang jumlah uang yang harus diberikan kepada keluarga wanita. Tetapi ketidak sesuaian itu dapat kuselesaikan secara informal beberapa hari kemudian.
Setelah proses pelamaran selesai banyaklah suara-suara sumbang yang sampai ketelingaku. Antara lain menyatakan bahwa calon isteriku itu sebenarnya bukan orang bugis , bapaknya beragama Keristen dll. Yang paling mengejutkanku ada yang menganggap calon isteriku itu parakang yaitu seorang gadis yang memakai ilmu hitam untuk mendapatkan harta dan selalu mencari anak kecil khususnya bayi untuk diambil nyawanya sebagai tumbal serta selalu mencari air buangan mencuci ( yang sudah hitam warnanya ) dalam bahasa bugis disebut cemme untuk diisap. Adapula keluarga muridku yang kecewa utamanya neneknya karena dianggapnya orang tuaku  sudah menyimpan kata ( melamar ) anaknya ketika ibu dan adikku berkunjung ke rumahnya beberapa waktu sebelumnya. Pusing juga aku dibuatnya, tetapi sekaligus ada rasa sedikit bangga karena ternyata banyak juga orang yang berminat menjadikanku menantu. Segala rintangan aku selesaikan secara baik-baik, melalui seorang teman guru aku minta tolong untuk menanyakan langsung kepada muridku yang bernama Citra Dewi tentang perasaannya karena aku tidak lama lagi akan kawin, ternyata nenek dan bibinya saja yang salah dalam menafsirkan kedatangan adik perempuan dan ibuku ke rumahnya. Kabar menyangkut calon isteriku adalah parakang kutepis dengan mengatakan bahwa sebagai orang matematika aku ingin membuktikan apakah benar anggapan orang itu dengan kawin dengannya. Ternyata kabar seperti ini dihembuskan oleh salah seorang tetangganya yang merasa iri hati  selama ini. Yah sekali layar terkembang pantang surut kebelakang.
 Persiapan acara perkawinan harus segera kulakukan. Aku tidak mempunyai tabungan sama sekali, maklumlah sebagai pegawai yang baru  bertugas beberapa tahun, gajiku masih  kecil apalagi harus menanggung sekolah 2 orang adik. Sungguh suatu hal yang cukup memprihatinkan. Aku tidak tahu persis dari mana orang tua dan kakakku, utamanya iparku Drs.Abdul Kadir Manyambeang mendapatkan dana penyelenggaraan perkawinanku. Yang disampaikan kepadaku ialah bahwa untuk penyediaan cincin kawin ( kalau tidak salah terbuat dari emas 22 karat dengan berat 5 g r ) harus aku bayar secara menyicil selama 10 bulan setelah perkawinan nanti. Aku merasa berutang budi sekali kepada seluruh keluargaku utamanya kakak iparku itu. 
Tanggal 10 juli 1977 pesta perkawinanpun diadakan dengan cukup meriah, didahului dengan proses pengantaran pengantin laki-laki dari Makassar dilanjutkan dengan acara akad nikah dan seterusnya resepsi perkawinan dari siang sampai jauh malam. Cukup lelah juga berada di pelaminan, duduk dan berdiri menyalami para tamu yang ratusan jumlahnya. Besoknya aku dan isteriku diantar ke Makassar untuk menjalani resepsi perkawinan yang diadakan pihak keluargaku bertempat di rumah kakakku yang terletak di kawasan Rappocini. Rumah kakakku itu itu terletak dalam lorong tidak jauh dari kompleks kuburan bangsawan di daerah itu.
Setelah menjadi suami isteri kami tinggal di mess guru SMA Barru. Sebenarnya pihak orang tuanya menginginkan agar kami tinggal di rumahnya di Sumpang Binangae tetapi aku tidak bersedia dengan alasan ingin mandiri membangun rumah tangga. Aku berfikir kalau tinggal bersama mertua banyak masalahnya apalagi masih ada seorang adikku yang bersekolah di SMP tinggal bersamaku.Setiap hari sebelum ke kantor isteriku mempersiapkan makan pagi dan membuat teh manis untukku. Untuk makan siang  dia selalu menyempatkan diri keluar kantor sebentar untuk berbelanja dan masak kemudian kembali lagi ke kantor bekerja. Hal ini dilakukannya selama bertahun-tahun kami berumah tangga. Pernah juga aku menanyakan prihal pulangnya setiap hari pada jam kerja , tetapi ia menjawab bahwa tidak menjadi masaalah karena pekerjaan di kantor tidak terlalu banyak apalagi dia naik motor sehingga dengan cepat bisa kembali ke kantor kalau diperlukan. Hal lain yang selalu dilakukannya ialah kalau aku sedang makan maka ia selalu duduk mendampingiku walaupun dirinya hanya sekedar duduk saja karena mungkin sudah selesai makan atau sedang tidak berselera untuk makan.
Tanggal 19 April 1978 lahir anak pertama yang kami beri nama Fadli Anwar seorang bayi laki-laki. Sebenarnya nama ini terlalu pendek sehingga isteriku pada mulanya memprotes kenapa begitu. Dia menginginkan anaknya diberi nama yang keren seperti nama bintang film atau orang-orang terkenal lainnya, tetapi aku memberi alasan yang cukup logis. Aku menceriterakan  pengalamanku yang diberi nama yang panjang dengan 3 buah nama yang bersambung Anwar Mukhtar Luthfi, di rumah dan sekitarnya dikenal dengan nama Anwar, di sekolah atau di kampus biasa dipanggil Luthfi dan kadang-kadang juga dipanggil Mukhtar sehingga menimbulkan masalah, misalnya ada teman yang cari di sekitar  rumah dengan nama Luthfi sama sekali tidak ada yang kenal, begitu juga sebaliknya. Perihal namaku yang panjang pernah kutanyakan kepada ayahku yang bertanggung jawab dalam  pemberian nama itu. Beliau menyampaikan bahwa nama itu diberikan karena terinspirasi oleh nama seorang ulama yang dikaguminya, pendiri  Mesjid Raya Makassar yaitu KH Mukhtar Luthfi dengan menambah nama Anwar didepannya yang berarti cahaya, mesjid itu diletakkan batu pertama pembangunannya pada tahun 1949 sebelum hari kelahiranku. Anakku kuberi nama Fadli Anwar yang berarti cahaya keutamaan ditambah gelar sebagai orang Makassar yaitu Daeng Lurang. Aku terkesan oleh nama pendiri IMMIM Makasar yaitu KH Fadli Luran. Kiyai ini adalah pendiri lembaga pendidikan Islam yang bernama IMMIM yang berusaha menyatukan umat Islam. Beliau melihat umat Islam di Sulawesi Selatan terpecah-pecah kedalam berbagai organisasi  utamanya NU dan Muhammadiyah yang selalu bertentangan dalam mempersoalkan berbagai hal walaupun hal kecil yang tidak terlalu prinsipil. Hal itu menimbulkan hubungan yang kurang harmonis antara sesama umat. Beliau  ingin menjembatanil dengan membangun organisasi IMMIM yang berusaha merangkul pihak-pihak tersebut.  
Sesuai tekadku dan didukung penuh istriku tahun 1978 aku mulai melanjutkan kembali kuliahku di IKIP Makassar.Ketika mulai menjajaki maksud itu aku bertemu dengan seorang mahasiswa jurusan matematika yang baru lulus sarjana muda bernama Jaali yang sementara mencari teman untuk lanjut ke program sarjana karena program itu bisa dibuka kalau mahasiswa yang mendaftar cukup 8 orang. Alhamdulillah dengan mendaftarnya aku maka persyaratan itu bisa terpenuhi. Aku mengikuti kegiatan perkuliahan, semester pertama 2 kali seminggu ke Makassar naik motor Suzuki bebek milik isteriku. Pada semester ini dari 6 mata kuliah yang kuikuti hanya 2 yang bisa lulus, sedih dan kecewa dan mau mundur dari perkuliahan tetapi rasa malu kepada teman-teman guru yang dari awal sudah meragukan malah sinis terhadap kemauanku untuk kuliah lagi menjadi cambuk untuk tetap bertahan,. semboyan sekali layar terkembang pantang surut kebelakang selalu terngiang ditelinga. Betapa malunya ditertawakan semua orang kalau aku, mundur begitu perasaanku. Semester kedua berjalan lancer, semua mata kuliah yang kuprogramkan lulus , Tahun berikutnya  mata pelajaran yang jatuh semester 1 bisa kululusi ditambah pengambilan mata kuliah baru sebanyak 6 mata kuliah semester 3 juga lulus semua. Sebenarnya kredit mata kuliah yang kululusi lebih dari batas maksimal yang bisa diprogramkan tetapi karena administrasi kurikulum di IKIP belum begitu bagus ( maklum sistim sks baru diberlakukan ) maka semua itu bisa berjalan. Semangatku untuk menyelesaikan kuliahku berkobar-kobar, apalagi sejak semester 2 motor Suzuki isteriku sudah diganti dengan vespa cicilan dari koperasi kantor Deppen yang tentunya lebih bagus dan lebih kuat. Kuliah di S1 dapat kuselesaikan dengan waktu yang tidak terlalu lama, akhir tahun 1981 gelas Drs telah bertengger di depan namaku menggantikan gelar BA yang kusandang selama ini. `
Sudah lazim terjadi bahwa hidup dengan isteri dan ada adik ipar dalam suatu rumah tangga akan menimbulkan gesekan-gesekan yang mempengaruhi hubungan berumah tangga apalagi sejak kelahiran anak pertama kami. Kadang-kadang sampai ditelingaku laporan tetangga sesama guru bahwa adikku kadang-kadang dimarahi habis-habisan oleh isteriku kalau aku tidak berada di rumah.  Ketika hal itu aku konfirmasi kepada isteriku tentang hal itu dia memberi alasan bahwa adikku itu selalu menceriterakan kekurangan-kekurangan kami kepada para tetangga dan tetangga itu melaporkan kepadanya. Memang adikku itu selalu berkunjung ke rumah tetangga ( sebenarnya kamar tetangga ) karena mess yang kami tinggali itu terdiri dari 5 kamar berukuran 4x6m yang terasnya bersambung jadi satu. Kamar-kamar itulah yang kami perluas dengan menambah bangunan darurat ke belakang  yang kemudian dijadikan kamar tidur atau dapur sehingga dapat ditinggali  sekeluarga. Bangunan tambahan ini hanya berupa bangunan yang terbuat dari bambu dan papan. Aku dan isteriku kadang-kadang bertengkar mengenai hal adikku ini. Aku  membela adikku,  keinginan untuk meringankan beban orang tua sangat kuat dalam diriku. Setiap terjadi pertengkaran dia selalu pergi ke rumah orang tuanya melapor, aku menduga masalahnya akan lebih parah kalau ibu mertuaku sudah turut campur tangan. Tetapi ternyata ibu mertuaku cukup bijaksana menanggapi hal ini dengan cara  memaksa bahkan mengusir isteriku ( anaknya ) untuk kembali ke rumah ( mess ) kami setiap terjadi pertengkaran. Sikap ibu mertuaku ini sangat menolong rumah tangga kami dan amat kuhargai dalam hatiku sampai sekarang Tak bisa kubayangkan bagaimana nasib keluargaku, utamanya nasib anak-anakku seandainya keluarga kami pecah gara-gara pertengkaran yang selalu terjadi saat itu.  Memang bagaimanapun hebatnya pertengkaran antara suami isteri terjadi kalau mereka masih serumah tentu tidak bertahan lama apalagi ada rasa malu kepada para tetangga.  Laporan tentang seringnya terjadi percekcokan antara aku dan isteriku karena persoalan adikku sampai juga  ke telinga  ibuku di Makassar yang berakibat adikku  ditarik kembali ke Makassar.
Tanggal 28 Oktober 1982 lahir anak kedua kami  seorang perempuan yang bernama  Fithyani Anwar dengan nama gelaran Daeng Kebo karena bayi itu lahir dengan kulit yang putih bersih. Sebenarnya ayahku mengusulkan nama Nur Fithyani yang menurutnya berarti cahaya pemudi Indonesia tetapi aku memberinya nama Fithyani Anwar yang artinya tetap sama yaitu cahaya pemuda Indonesia seperti keinginan ayahku. Kelahiran ini berjarak cukup lama 4 tahun 6 bulan dengan kelahiran kakaknya, merupakan hal yang disengaja untuk menjarangkan anak guna mendukung program KB yang gencar dilakukan waktu itu. Sekaligus menghindari trauma masa kecil keluargaku yang hidup serba kekurangan dengan saudara yang cukup banyak. Isteriku memakan pil KB.
Kelahiran anak kedua ini tentu membawa konsekuensi tersendiri. Kehidupan kami semakin sibuk, isteriku Subuh hari sudah bangun memasak, membersihkan rumah dan memandikan anak-anak. Aku juga tentu membantu dengan sebisanya. Selanjutnya , mengantar kedua anak ke Sumpang Binangae untuk dititip di rumah neneknya selanjutnya menurunkan aku di depan sekolah tempatku mengajar kemudian dia menuju ke kantornya bekerja. Kegiatan ini rutin kami lakoni setiap hari. Aku menyadari betapa berat beban kerja yang ditanggung isteriku. Isteriku memang pekerja keras yang tidak pernah mengeluh. Kalau perempuan lain aku yakin tidak mampu melaksanakannya, dia bisa melakukan ini karena sudah dididik bekerja keras sejak kecil oleh ibunya.    
Walaupun hidup dimasa kecil yang serba kekurangan aku bangga mempunyai pasangan orang tua yang betul-betul bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya. Kami dididik dengan pendidikan agama secara ketat dan berusaha  disekolahkan ke pendidikan agama dan pendidikan umum. Orang tua kami merupakan contoh bagi tentang ketaatan beragama dan prilaku kehidupan yang baik. Kami dibesarkan dengan cucuran keringat orang tua, utamanya ayah yang bekerja sebagai tukang ukur di kantor PU. Tak bisa dibayangkan berapa banyak keringat yang tertumpah ketika beliau harus berjalan kaki, mendaki gunung, menerobas hutan belantara, menyeberangi sungai ketika mengukur persiapan pembuatan jalan raya dan pengairan di Sulawesi Selatan. Aku mengidolakan ayahku karena rasa tanggung jawabnya yang begitu besar kepada isteri dan anak-anaknya. Dia adalah sosok yang sangat mencintai isterinya dan sangat menyayangi anak-anaknya. Aku ingin sekali memberikan kebahagiaan kepada mereka berdua dengan membantu berupa pemberian materi yang agak lebih guna  meringankan beban hidup mereka, apalagi dimasa tua , tetapi karena penghasilanku juga sangat kurang hal ini tidak pernah terwujud sampai beliau meninggal dunia.  Dalam hatiku aku berjanji akan meniru prilaku ayahku ini dengan mencintai isteri dan anak-anakku juga sepenuh hati. Aku berusaha setia kepada isteriku dengan selalu menjauhi hal-hal yang bisa mengurangi nilai kesetiaan itu, begitu juga bertanggung jawab kepada masa depan anak-anakku.
Karirku sebagai seorang guru juga cukup meningkat, mulai dari guru mata pelajaran biasa kemudian dipercaya menjadi wali kelas, selanjutnya dipercaya menjadi anggota seksi Kurikulum dan Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum. Setiap kegiatan di sekolah selalu saja dipercaya untuk duduk dalam kepanitiaan seperti Penerimaan Siswa Baru, EBTA/EBTANAS mulai dari anggota seksi, ketua seksi sampai Sekretaris baik di tingkat sekolah maupun di tingkat Kabupaten. Begitu juga dalam organisasi PGRI , mulai dari jabatan anggota, wakil Ketua Cabang ( tingkat Kecamatan ) ,Wakil Ketua Daerah di tingkat Kabupaten dan terakhir sebagai Sekertaris Umum PGRI tingkat Kabupaten. Dari kegiatan berorganisasilah sehingga bisa mengunjungi kota-kota seperti Semarang dan Palembang untuk mengikuti kongres.
Pernah terjadi sesuatu yang cukup merubah jalur nasibku. Ketika itu menjelang Konperda PGRI di Tana Toraja, jabatanku ketika itu adalah Wakil Ketua Cabang yang harus memimpin delegasi PGRI Cabang Barru karena Ketua Umum pak Latief Ali tidak sempat karena harus mengikuti pelatihan dinas di Makassar. Di tengah persiapan itu tiba-tiba ada pengawas mata pelajaran Matematika dari Makassar yang merekomendasikan  agar aku ikut pelatihan Pemantapan Kerja Guru di BPG Makassar. Aku beralasan bahwa ada tugas untuk  memimpin delegasi PGRI ke Tator, tetapi oleh beliau mengatakan bahwa terserah anda dan menambahkan bahwa kalau ketua delegasi itu bisa saja diganti  orang lain tetapi mengikuti PKG ini menyangkut masa depanku sebagai guru dan ini merupakan suatu kegiatan yang tidak semua guru diberikan kepercayaan. Setelah menimbang lebih lanjut aku memutuskan untuk mengikuti kegiatan PKG tersebut. Dan ternyata keputusan ini merupakan berkah tersendiri karena setelah  mengikuti pelatihan ini selama beberapa bulan secara In service training dan on service training aku terpilih menjad guru inti yang bertugas membantu membimbing guru-guru matematika mulai dari Barru, Pare-pare dan Sidrap. Setelah menjadi guru inti maka aku diberikan kesempatan mengikuti pelatihan guru tingkat Nasional di Yogyakarta. Selanjutnya diberikan kesempatan mengikuti Pelatihan Calon Instruktur dan seterusnya diangkat menjadi Instruktur Guru matematika center Pare-pare yang membawahi daerah Barru, Pare-pare, Pinrang, Polewali Mamasa, Majene, Mamuju , Sidrap, Tana Toraja, Palopo,Enrekang dan Bone. Aku mengatakan berkah tersendiri karena dari menjalankan pekerjaan ini aku mendapatkan tambahan penghasilan, dapat mengunjungi tempat-tempat lain dalam daerah tugasku, pernah juga beberapa kali ke Selayar, mengunjungi Yogyakarta, kadang-kadang ke Jakarta dan yang paling membanggakan karena pernah diutus sebagai salah seorang perserta Short Training Mathematical Teacher dikota Dundee Scotlandia  selama 3 bulan. Dari kegiatan ini sehingga aku bisa menginjakkan kaki  di kota-kota Edinburg, Glasgow, Seant Andrew, London dll. Ini merupakan kebanggan karena diantara ratusan guru matematika yang ada di Indonesia aku termasuk 18 orang guru yang beruntung dapat terpilih mengikuti program ini. Lebih-lebih untuk ukuran Kabupaten Barru  tentu masih sangat langka mendapatkan guru yang dapat terpilih mengikuti pelatihan di tingkat nasional lebih-lebih di tingkat Internasional.
Sebenarnya 4 tahun setelah kelahiran anak kedua, istriku melahirkan lagi anak ketiga berjenis kelamin iaki-laki tetapi tidak sempat lahir dalam keadaan hidup karena bidan terlalu percaya diri dan terlambat mengirim istriku ke rumah sakit yang lebih memiliki alat-alat yang lengkap di Pare-pare. Maklum semua anakku dilahirkan di rumah neneknya saja bukan di rumah sakit. Isteriku dibawa tengah malam ke rumah sakit Fatima Pare-pare dengan meminjam mobil kepala sekolahku Dra.Banri.Mobil ini tidak lama kemudian dijual pemiliknya, dianggap akan membawa sial (sesuai kepercayaan orang bugis ) berhubung  telah dipakai membawa mayat anakku kembali ke Barru dari Pare-pare. Aku menyesal juga karena belum tahu kepercayaan itu. Sebenarnya Kepala Sekolahku tidak pernah menyampaikan hal itu  tetapi aku sendiri yang menduga-duga karena merasa heran mengapa begitu cepat mobil itu dijual setelah kupinjam mengantar isteriku dan membawa mayat anakku.
Waktu berjalan terus, anak-anakku bertumbuh dengan sempurna, mereka  selalu menduduki ranking yang terbaik  di sekolahnya. Sebagai orang tua, merupakan kebanggaan tersendiri berdiri mendampingi mereka setiap acara Penamatan sekolah baik di SD maupun SMP karena mereka selalu menduduki peringkat I. Peringkat I ini tidak selalu diduduki oleh anak-anakku dalam penerimaan rapor ketika semesteran atau kenaikan kelas mungkin karena pada saat semesteran atau kenaikan kelas nilai yang diberikan oleh guru masih sangat dominan yang menimbulkan tingkat subyektifitas yang tinggi sedang nilai pada saat Ujian Akhir ( Ebtanas ) pada saat kelas terakhir diperiksa secara komputerisasi sehingga tingkat obyektifitasnya lebih bagus karena tidak bisa direkayasa. Maklum kedudukanku sebagai seorang guru kurang begitu bernilai dibandingkan orang tua lain yang kedudukannya sebagai Kepala Dinas atau pejabat lain. Isteriku kadang-kadang memperotes subyektifitas dalam pemberian nilai ini ke  sekolah, apalagi kalau ada bocoran-bocoran dari dalam sekolah sendiri yang mengungkapkan adanya ketidak beresan pemberian nilai rapor khususnya kepada anaknya, tetapi aku sebagai seorang guru selalu memperingatkannya untuk bersabar saja karena kalau anak kami memang pintar tentu akan kelihatan pada saat penilaian Ebtanas ( Ujian akhir ) yang diperiksa langsung oleh computer. Alhamdulillah hal itu terbukti karena kedua anakku menjadi peraih Nilai Ebtanas Murni ( NEM )  tingkat SLTP se Kabupaten Barru sesuai tahun penamatannya masing-masing.Berkat perolehan nilai tertinggi di tingkat Kabupaten inilah yang membuat kedua anakku mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di SMA paforit  di tingkat propinsi dan nasional tanpa biaya orang tua
Anak pertamaku lulus SMP bertepatan dengan adanya berita di surat kabar yang sempat kubaca bahwa Aksa Mahmud seorang pengusaha asal Sulawesi Selatan ingin membiayai anak-anak terbaik asal Sulawesi Selatan untuk disekolahkan di salah satu SMA Faporit di Bandung agar kelak bisa lebih mudah lulus masuk ke ITB Bandung . Berita ini kusampaikan kepada isteriku dan disambut dengan gembira,  bersama-sama kami ke Makassar mengantar fotocopy rapor SD dan SMP serta  fotocopy Ijazah SMP untuk selanju tnya diteliti oleh sebuah Tim di SD Pembangunan Monginsidi keaslian dan kelayakannya untuk diterima dalam program ini. Hampir setiap 3 hari kami bersama-sama dengan motor vespa pergi pulang Barru-Makassar untuk mempertanyakan kelanjutannya. Tidak pernah aku dibiarkan pergi sendiri dia selalu harus ikut.  Kegelisahan meliputi kami berdua karena proses pendaftaran siswa SMA di Makassar segera berakhir padahal belum ada kejelasan pasti tentang program ke Bandung itu, serba salah  jadinya karena mau mendaftar di SMA yang ada di Makassar sambil menunggu kepastian ke Bandung tidak memungkinkan  juga karena Ijazah dan NEM asli sudah di stor ke TIM. Puncak kegelisahan kami  terjadi ketika untuk kesekian kalinya kami menanyakan kepada TIM dan ternyata dijawab bahwa rombongan anak-anak sudah berangkat ke Bandung kemarin sore dengan kapal laut  serta membawa semua berkas yang sudah di stor, katanya mereka sudah berusaha menguhubungi tetapi tidak tahu harus menghubungi ke mana karena tidak ada nomor telepon yang diketahui untuk memberi kabar. Mereka memberikan harapan bahwa tidak ada masalah, anak-anak yang berangkat  ke Bandung juga sebenarnya masih mau di urus lebih lanjut disana belum langsung masuk sekolah, kami akan diberi kabar dan segera diberangkatkan kalau memang sudah ada kepastian. Bingung juga kami dibuatnya, tetapi berbekal pengalamanku pulang balik ke Jawa maka aku berfikir, kalau rombongan baru berangkat kemarin malam dengan kapal laut, tentu masih bisa diburu kalau berangkat dengan  kapal terbang. Tetapi kami tidak punya uang pembeli tiket , mau meminjam uang dimana dan siapa yang mau meminjamkan uang. Akhirnya isteriku merelakan perhiasan emasnya saja yang dijual untuk dipakai sebagai biaya perjalanan. Tanpa berfikir panjang kami pulang ke Barru  mempersiapkan keberangkatanku dengan si Fadli ke Bandung. Esok paginya  aku dengan anakku telah berada diangkasa menuju ke kota Surabaya.Hitung-hitung menghemat biaya maka naik pesawat sampai Surabaya saja kemudian dilanjutkan dengan naik bus Kramat Jati. Alhamdulillah semuanya berjalan sesuai rencana,  pagi hari ketika sampai ke rumah tempat rombongan menginap  kami mendapat informasi bahwa mereka juga baru tiba dari Jakarta tadi subuh Sekali  lagi Alhamdulillah.
Selanjutnya aku diajak oleh pak Roel Sanre ( anggota tim ) yang mengantar rombongan ke Bandung menemui pak Aksa Mahmud di salah satu  hotel besar di kota Bandung, untuk berbicara langsung dengan beliau. Seterusnya menuju ke SMA 3 Bandung untuk bertemu dengan Kepala Sekolahnya. Sempat juga kurang enak perasaanku karena kelihatannya pihak sekolah rupanya belum ada keputusan apakah mau menerima anak-anak dari Makassar atau tidak dengan alasan bahwa kegiatan PSB sudah selesai apalagi adanya Edaran Kakanwil Jawa Barat yang melarang menerima siswa baru dari luar Jawa Barat kecuali yang memang orang tuanya berdomisili di Bandung. Aku bertambah khawatir tetapi pak Roel Sanre meyakinkan ku bahwa semua anak-anak itu pasti diterima sembari memperlihatkan nota dari Prof.Dr.Hasan Walinono Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI  yang ditujukan kepada Kakanwil Depdikbud Jawa Barat  dan juga nota dari Gubernur Sulawesi Selatan Prof.Dr.Ahmad Amiruddin kepada Gubernur Jawa Barat Yogi SM yang isinya agar beliau bisa membantu agar anak-anak dari Makassar itu bisa diterima bersekolah di SMA yang ada di Bandung. Hari itu juga aku harus pulang ke Surabaya dan seterusnya naik kapal laut ke Makassar karena tugasku sebagai guru di SMA Barru juga harus kutunaikan tanpa membawa kepastian apakah anakku diterima atau tidak bersekolah di Bandung. Tetapi syukur Alhamdulillah beberapa hari kemudian sudah ada kabar dari pak Roel Sanre bahwa anak-anak itu sudah diterima bersekolah di SMA Negeri 3 Bandung. Sekolah yang menjadi tujuan siswa dari seluruh Indonesia untuk bersekolah karena sudah menjadi kenyataan bahwa kalau dari SMA 3 ke ITB sama dengan pindah kelas saja alias mudah. Itulah sampai Pemda di Jawa Barat mempersempit kesempatan anak2 luar Jawa Barat masuk ke SMA-SMA paforit khususnya SMA 3 Bandung karena kalau tidak kursi-kursi SMA 3 akan diduduki oleh orang-orang luar Jawa Barat dan otomatis kesempatan masuk ITB  akan berkurang untuk anak-anak Jawa Barat sendiri.
Sesuai janji yang diberikan, selama bersekolah di SMA dan bahkan kalau anak-anak itu bisa masuk ke ITB atau  beberapa perguruan tinggi ternama di Jawa  maka seluruh  biaya asrama, makan dan uang sekolah akan ditanggung oleh yayasan, orang tua hanya dibebani untuk mengirim uang saku sekedarnya. Alhamdulillah si Fadli dibiayai sekolahnya selama di SMA  sampai setahun sebelum tamat di ITB saja karena di tahun terakhir ada krisis ekonomi yang menimpa Indonesia yang berdampak juga kepada  perusahaan pak Aksa Mahmud. Walaupun demikian aku sudah bersyukur dan berterima kasih sekali atas bantuan pak Aksa Mahmud itu, mudah-mudahan Allah membalasnya.
Setamat SMA Fadl lulus di jurusan Teknik Industri ITB sesuai pilihannya.Ketika aku menanyakan alasannya memilih jurusan itu dengan enteng saja dia menjawab untuk menguji kemampuannya karena pada UMPTN tahun sebelumnya jurusan teknik industrilah yang paling tinggi passing gradenya ( tingkat persaingannya tinggi ).
Ketika anak keduaku tamat SMP NEMnya juga tertinggi di Kabupaten Barru sehingga berhak menjadi salah satu utusan Daerah Barru untuk bersekolah di SMA Andalan Sulawesi Selatan di Kec.Tinggi Moncong Malino dengan biaya dari Pemda. Dia ditunjuk bersama dengan seorang anak SMP Tanete Rilau yang bernama Akmal. Disekolah ini seluruh siswa diasramakan karena itulah sehingga setiap hari minggu aku dan isteriku membesuk anak itu di sekolahnya, kami selalu datang bersama kecuali kalau ada keperluan lain yang mengharuskan kami tidak bisa datang bersama , tetapi hal ini jarang terjadi. Kami tidak punya mobil sendiri sehingga untuk mencapai sekolah itu kami harus beberapa kali ganti kendaraan . Pertama-tama naik becak dari rumah ke jalan poros menunggu dan mengendarai kendaraan umum yang umumnya  mobil panter atau bus menuju ke Makassar, turun di terminal Daya, nyambung pete-pete ( angkot) jurusan pasar sentral dan turun di jalan Bawakaraeng sebelum persimpangan jalan Jenderal Sudirman, naik angkot lagi jurusan Sunggu Minasa ( warna merah ) dan turun di suatu terminal kecil dalam pasar Sunggu minasa menunggu mobil angkot lagi ke jurusan Malino. Biasanya disini menunggu sampai beberapa jam karena mobil tidak akan bergerak kalau muatannya tidak penuh sesak, 10 orang di bagian belakang dan 2 orang duduk dekat sopir.
Perjalanan ke Malino cukup melelahkan karena disamping mobil yang ditumpangi ukurannya kecil dan penuh sesak juga situasi jalan yang  menanjak dan berkelok-kelok membuat sopir selalu menginjak rem . Setiap berkunjung kesana pasti isteriku muntah-muntah tetapi hal ini tidak membuat dia jera, rasanya keadaan itu bukan merupakan rintangan bagi dia untuk bertemu anaknya.  Tiga tahun kegiatan ini dilakukan selama Fithy belajar di SMA itu.
Sesuai program yang berlaku waktu itu, pemilihan jurusan di SMA dilakukan setelah naik ke kelas 2, dia memilih jurusan IPS. Ketika aku menanyakan prihal mengapa memilih jurusan itu dia menjawab bahwa dia terlanjur merasa tidak senang kepada mata pelajaran Fisika akibat guru Fisikanya di kelas I kurang jelas  cara mengajarnya.  Isteriku sebenarnya kurang setuju dengan pilihannya  itu karena pada umumnya orang menganggap bahwa jurusan IPS itu lebih rendah dari IPA, tetapi aku sebagai seorang guru tidak ingin memaksakan anakku untuk memilih jurusan IPA karena khawatir dia akan mengalami kesulitan dalam kelanjutan studinya. Aku meyakinkan isteriku akan hal itu yang pada akhirnya dia terpaksa menerimnya. 
Sebenarnya aku heran juga mengapa ada sekolah unggulan yang membuka jiurusan IPS apalagi sekolah unggulan di tingkat propinsi. Biasanya sekolah-sekolah unggulan hanya membuka jurusan IPA saja karena murid-muridnya tentu saja adalah anak-anak yang kepandaiannya di atas rata-rata. Seperti SMA N 3 Bandung tempat si Fadli sekolah, diantara 11 kelas  3 , 10 kelas Program Fisika dan hanya satu kelas program Biologi sedangkan jurusan IPS tidak ada sama sekali. Tahun berikutnya di SMAN Tinggi Moncong Malino tidak dibukalagi jurusan IPS hanya jurusan IPA saja.
Setelah tamat SMA, Fithy meminta pendapatku tentang jurusan apa yang akan dipilih dalam UMPTN karena  dia ingin juga sekolah di Bandung. Aku mencoba mendampinginya meneliti daftar  program da jurusan yang ada dalam buku petunjuk UMPTN yang diperolehnya ketika membeli formulir pendaftaran. Pada akhirnya kami sepakat memilih jurusan Bahasa Jepang di Universitas Pajajaran sebagai pilihan pertama dan jurusan Ekonomi Akuntansi Universitas Hasanuddin sebagai pilihan kedua.Alhamdulillah dia bisa lulus pada pilihan pertamanya dalam UMPTN itu yang akibatnya dia harus melanjutkan studi di kota Bandung. Yah apa boleh buat kami  harus berpisah jauh lagi dengan anak kedua kami. Banyak orang termasuk kerabat dekat yang mempertanyakan kepada isteriku tentang keputusan kami mengizinkan anak perempuan kami kuliah jauh dari orang tua, tetapi selalu dijawab olehnya bahwa anaknya itu pergi menuntut ilmu , mencari kebaikan dan amat yakin bahwa Tuhan akan selalu melindungi.    
Kami berangkat dengan kapal laut  menuju Surabaya dan selanjutnya naik bus  ke Bandung. Di kapal  laut dari Makassar menumpang banyak anak tamatan SMA di Makassar yang lulus UMPTN di Perguruan-perguruan tinggi di Jawa . Lulusan SMAN Tnggi Moncong saja berjumlah lebih dari 10 orang yang ikut, mereka ada yang lulus  di ITS, Unair, UGM , UI , ITB  dan Universitas Pajajaran
 Aku bersama isteriku mengantar Fithy untuk mendaftar ulang di gedung pertemuan Universitas Pajajaran di jalan Dipati Ukur Bandung. Kamii mengikuti dan mendampingi selama beberapa hari sampai proses pendaftaran selesai  termasuk mencarikan kamar  kost di Jatinangor.

      



        
   
   
 .