2013/03/24

Pelayanan PLN


Pengalaman Pahit tentang Pelayanan PLN

Pada tanggal 26 Pebruari 2013 saya memasukkan permohonan   penambahan daya dari 900 W menjadi 1300 W sekaligus membayar biaya adminisytasi Rp 324.600,-. Oleh petugas PLN disuruh menunggu 1 atau 2 minggu. Pada tanggal 7 Maret 2013 meteran listrik membunyikan alarm tanda stroom pra bayar akan habis, segeralah meteran itu diisi dengan voucer 100 ribu ,namun tidak bisa masuk.
Setelah diteliti ternyata pada lembaran voucer itu telah tertulis daya listrik yang sudah berubah menjadi 1300 W padahal petugas PLN belum pernah ada yang datang mengubah daya pada meteran di rumah saya. Saya segera menghubungi layanan 24 jam PLN no.telpon  123 melaporkan keadaan itu dan tidak lama datanglah petugas PLN ke rumah kami tetapi tidak berbuat apa-apa karena listrik masih menyala, katanya dia tidak bisa menyalakan listrik itu. Petugas itu hanya berpesan kalau listrik ini sudah padam segera hubungi  no. telp. 4723333. Saya mengikuti pesan pegawai PLN itu .Setelah daya listrik habis saya menghubungi telpon 4723333 tetapi jawabannya sangat mengecewakan karena katanya dia tidak bisa berbuat  apa-apa kalau tidak ada perintah dari atasan. Dia hanya memberikan no.Hp.081342942220 dan 085255023406, katanya no hp supervisor untuk saya hubungi. Berulang-ulang saya hubungi  no.hp yang diberikan itu tetapi tidak digubris. Kadang-kadang  tersambung tetapi tidak diangkat atau hp dimatikan sama sekali. Saya menghubungi lagi no. 4723333 call center PLN, tetapi tidak bisa lagi. Mungkin nomor telpon saya sudah masuk blacklist karena berulang-ulang saya hubungi no.call center itu tetapi tidak bisa masuk. Kemudian saya hubungi lagi call center PLN Pusat no.123 tetapi jawabannya tetap itu-itu saja “ Nanti kami hubungi petugas terkait”. Walhasil 3 hari 3 malam rumah saya gelap gulita. Inilah  pengalaman pahit sebagai pelanggan PLN yang tidak tahu harus mengadu kemana lagi.
Sebenarnya saya ingin menuntut secara hukum atas kerugian moril maupun materil yang dialami akibat ketidak beresan ini tetapi sebagai rakyat kecil tidak tahu bagaimana caranya.
Kalau pelanggan yang berbuat salah maka dengan cepat dan tegas diberi hukuman berupa denda atau pencabutan aliran listrik tetapi kalau pelayanan PLN yang tidak beres tidak ada sangsi apapun walaupun nyata-nyata telah merugikan pelanggan.  Inikan tidak adil.   
Apakah tidak sebaiknya dibentuk payuguban pelanggan PLN yang bisa menampung dan menindak lanjuti segala keluhan dan kerugian pelanggan atas ketidak becusan petugas PLN. Kalau perlu  bisa membantu melanjutkan persoalan yang merugikan  itu ke jalur hukum.

Perjalanan Terakhir

PERJALANAN TERAKHIR

“ Bawalah aku kembali ke Barru Daeng , ke rumah ibu  di Sumpang  BinangaE saja” kata isteriku sambil berbaring  di tempat tidur rumah sakit, empat hari sebelum meninggal. Permintaan ini tidak terlalu kuperhatikan karena terfikir olehku tidak ada fasilitas perawatan yang tersedia di Barru, apalagi kalau yang dia minta untuk dibawa ke rumah saja dan bukan ke rumah sakit. “ Disini saja, dimana kita mau ambil bantuan pernafasan  berupa tabung oksigen dan peralatan lainnya di Barru ?  “ tanyaku sambil melirik ke arah  tubuhnya sedang dipenuhi peralatan medis  mulai dari cairan infus yang tergantung dari bagian atas kepalanya melilit bagaikan ular ke pergelangan tangan kanannya, tabung oksigen dengan selang yang ujung nya melekat dibagian hidung. Timbul juga tanya dalam benakku, mengapa dia tidak meminta  dibawa ke rumah kami saja yang di jalan melati, mengapa harus dibawa ke rumah ibu mertuaku.“ Tidak usah difikir semua itu, bawa saja saya ke rumah ibu karena di rumah kita tidak ada orang yang bisa membantu “ katanya menambahkan, sepertinya dia mengerti jalan fikiranku. Sesudah itu dia terdiam dan berusaha memejamkan matanya.
Tadi pagi sesudah pemeriksaan rutin dokter aku dipanggil untuk berkonsultasi. Dokter memberi penjelasan bahwa penyakit isteriku sudah sangat parah dan rupanya semua obat yang dimasukkan ke dalam tubuhnya sudah tidak bisa berfungsi dengan baik.
 Kalau kuperhatikan, akhir-akhir ini keadaannya semakin memburuk. Kakinya mulai dari pangkal paha ke bawah membesar. Kalau sebelumnya dia masih mampu ke kamar mandi sendirian dengan membawa botol infuse, sekarang tidak bisa lagi. “ Kami sekarang hanya mampu meringankan saja penderitaan ibu, hati dan pancreas sudah dipenuhi sel-sel kanker dan tidak dapat berfungsi secara optimal lagi,  paru-paru juga begitu” kata dokter kepadaku.
Aku hanya mampu menatap kosong ke depan, mencoba untuk melihat menembus dinding yang terbuat dari kaca bening, menghadap ke areal perkampungan  yang masih banyak berupa tanah kosong. “ Kalau bisa keluarga dekat diminta  tidak terlalu menjauh “ kata dokter menambahkan.
Seraya memandang wajah isteriku di pembaringan, terbayang kembali di kepalaku betapa telah sia-sianya segala usaha kami dalam berobat selama dua tahun lebih. Sudah puluhan dukun yang dikunjungi dengan segala macam perlakuannya seperti : mengurut, mengoles, membedaki, menyemprotkan obat dari mulut dan segala macam obat herbal sudah diminum, semua pengobatan dan anjuran dokter sudah dilaksanakan , operasi  payudara mulai yang  sebelah kiri disusul yang sebelah kanan lagi, kemoterapi sebanyak 12 kali , berobat  ke tabib China di kawasan Pettarani dengan biaya 24 juta untuk 2 paket, berobat ke RS Kanker di Guangzhou  selama 2 bulan dan yang terakhir menjadi pemakai rompi DR Warsito di Cikokol Tangerang . Semua ikhtiar itu dilakukan dengan doa dan optimisme yang besar. Isteriku selalu mengatakan bahwa semua penyakit pasti ada obatnya, hanya belum ketemu saja Insya Allah. Tetapi kenyataannya sekarang ?.
Aku menyampaikan dan meminta pendapat dari semua keluarga dekat prihal perkataan dokter dalam konsultasi tadi baik secara langsung maupun lewat SMS. Mereka menyarankan agar anak kami diminta segera datang dan mengingatkan untuk selalu membimbing isteriku dengan doa-doa, selalu beristigfar kepada Allah dengan memperbanyak zikir dan membaca syahadat.
 Hari itu juga Fadli yang berada di Muscat Oman dan Fitti yang berada di Matsuyama Jepang kukabari juga mengenai  keadaan ibunya dan perkataan dokter tadi pagi tetapi aku tidak memaksakan mereka untuk pulang.
 Kami hanya mempunyai anak 2 orang yang keduanya di luar negeri. Fadli bekerja di PDO ( Petrolium Development of Oman ) dan tinggal di Muscat dengan isteri dan 3 orang anaknya sedangkan Fitti sedang belajar di Ehime University program S2 juga membawa anaknya tinggal di kota Matsuyama Jepang. Si Fitti sebenarnya baru 2 minggu lebih kembali lagi ke Jepang setelah mengambil anaknya yang tinggal bersamaku, dengan pertimbangan tidak ada yang bisa mengurus di Makassar setelah penyakit ibunya bertambah parah. Apalagi suaminya juga sibuk sekali karena  sedang mengikuti pendidikan dokter spesialis penyakit dalam.
Keberangkatannya kembali ke Jepang bertepatan dengan hari ibunya juga diantar untuk rawat inap di rumah sakit pendidikan Unhas. 
“ Bagaimana pendapatmu dik, karena mamanya Fadli meminta untuk dibawa saja ke Barru ?” tanyaku kepada Dr. Husaini salah seorang keluarga dekat ( sepupu isteriku ) , kebetulan seorang dokter spesialis penyakit dalam yang juga bertugas di rumah sakit pendidikan Unhas. “ Kalau bisa Jangan dibawa dulu ke Barru , disinikan dokter dekat untuk dimintai bantuan kalau ada apa-apa” Jawabnya.
Aku memutuskan untuk melihat dulu perkembangan selanjutnya. Kujaga isteriku dan kuladeni segala keperluannya  dan selalu mengingatkan kalau waktu shalat sudah masuk. Isteriku sejak dirawat di rumah sakit  kuanjurkan untuk selalu menggabung  dan memendekkan saja shalatnya berhubung kesehatannya yang tidakmemungkinkan.
“Bawa saya pulang ke Barru ke rumah ibu sekarang juga dan suruh anak-anakku datang” kata isteriku tiba-tiba mengagetkan aku dipagi berikutnya. Aku ingin berbicara lebih lanjut tetapi dia hanya memberI isyarat dengan tangan agar aku tidak ngomong lagi sambil menutup matanya. Aku memahami bahwa apa yang disampaikan itu sudah merupakan perintah yang harus kuikuti. Aku segera menelpon ibu mertuaku dan menyampaikan juga bahwa isteriku itu mau dibawa pulang ke Barru sekarang. Beliau menyetujui dan juga menginginkan agar isteriku dibawa saja ke rumahnya di Sumpang Binangae tidak usah dibawa ke rumahku yang di jalan melati. Aku bertanya dalam hati mengapa antara kemauan isteriku dan ibunya bisa sama. Aku mengirim SMS kepada kedua anakku dan menyuruh mereka untuk menelpon langsung kepadaku karena aku ingin berbicara secara langsung. Si Fadli segera menelpon dan ingin bicara dengan ibunya untuk membujuk agar tidak usah ke Barru dulu tetapi isteriku hanya memberi isyarat dengan tangannya menolak. Fadlipun menyampaikan kepadaku bahwa  akan meminta izin dari kantornya dan mengurus tiket serta secepatnya berangkat, begitupula Fitti segera meminta izin kepada dosen pembimbingnya dan mencari tiket pulang. Aku meminta juga menantuku menyelesaikan semua urusan administrasi rumah sakit sekaligus menyewa  mobil ambulans yang akan membawa isteriku ke ke Barru.
Mobil ambulans berjalan perlahan meninggalkan halaman rumah sakit. Dalam mobil aku duduk mendampingi isteriku yang berbaring dengan bantuan alat pernafasan berupa tabung oksigen ukuran kecil. Di bagian depan duduk sopir bersama seorang perawat laki-laki yang disiapkan mendampingi selama perjalanan ke Barru. “ Tidak usah bunyikan sirenenya, nanti orang di Barru semua kaget “bisik isteriku. Ketika hal itu kusampaikan kepada sopir dia mengatakan bahwa sirene dibunyikan selama dalam perjalanan agar orang-orang dapat memberikan kesempatan kepada mobil ambulans lewat. “ Nanti setelah memasuki kota Barru, sirene tidak akan dibunyikan lagi “ kata sopir menambahkan. Perjalanan ke Barru tidak terlalu lancar karena pada saat yang sama terjadi pemogokan sopir angkutan umum dan berdemonstrasi di dekat jalan masuk  lapangan terbang memprotes banyaknya mobil plat hitam ( mobil pribadi ) yang beroperasi yang merugikan angkutan umum ( plat kuning ). Mobil tertahan agak lama karena terhalang di daerah Mandai, aku memperhatikan muka istriku ketika sopir menghentikan mobilnya sebentar untuk membeli air minum. Raut mukanya kelihatan tidak terganggu malahan seperti tersenyum saja, dugaanku mungkin dia puas karena keinginannya untuk pulang ke Barru sudah terpenuhi. Aku mencoba meminumkan air ke mulutnya walaupun kelihatannya banyak yang tertumpah saja.
Sesuai janji sopir sirene ambulans tidak dibunyikan lagi setelah memasuki Kota Barru sehingga tidak menarik perhatian orang-orang yang tinggal dan berada di sepanjang jalan yang dilalui. Setelah makan siang  dan diberi tambahan uang oleh isteriku ( walaupun tidak berharap ) sopir pun membawa ambulansnya pulang ke Makassar.
Magrib datang menjelang isteriku masih sempat melaksanakan shalat Magrib dijamak denga shalat Isya walaupun dengan berbaring saja. Sejak tiba di rumah, bantuan oksigen untuk pernafasan  sudah tidak ada lagi karena sudah tidak ada tabung oksigen tersedia. Malam itu mataku masih sempat tertidur sambil berjaga disamping isteriku, juga ibu mertuaku dengan setia mendampingi anaknya  juga di ranjang. Menjelang subuh nafas istriku mulai agak sesak, aku meminta izin kepada menantuku Ikhwan ( sebagai seorang dokter ) agar aku bisa memasang  nebulizer sebagai bantuan pernafasan. Diapun menyetujuinya dan dia  sendiri berupaya mencari pinjaman tabung oksigen ke Puskesmas dan rumah sakit  walaupun tidak mampu mendapatkannya . Aku memasang nebulizer dan merapatkannya ke hidung isteriku, tetapi asap yang keluar dari alat itu tidak terserap lagi oleh hidungnya. Asap itu hanya berputar sekitar hidung dan memenuhi kamar tidur. Ikhwan dengan suara serak mencoba menghubungi Fitti yang rupanya telah mendarat di Osaka. “Bicaralah dengan ibu. mungkin sebagai kata terakhir” dari balik telpon yang terdengar hanya suara isak sesaat dan permintaan maaf kepada ibunya. Menjelang jam 6 pagi nafas isteriku semakin sesak aku sudah mematikan nebulizer dan berdua dengan si Ikhwan menuntunnya dengan membaca sahadat. “ La Ilaha Illah Muhammadorrasulullah- La Ilaha Illah – Muhammadorrasulullah “  berulang-ulang, akhirnya isteriku menarik nafas yang terakhir untuk kemudian tidak bernafas lagi untuk selama-lamanya.  Ikhwanpun menyenter bola mata  untuk memastikan  kematian kemudian dia memberi isyarat dengan mengeleng kepala. Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun, sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepadanya. Aku melirik jam di hpku tepat jam jam 6 lewat 10 menit di hari Selasa tanggal 9 Oktober 2012. Tak terasa isak tangis sejenak tak mampu ku bendung begitupula si Ikhwan. Isteriku meninggal di pangkuan  ibunya yang  memandangi wajah anaknya tanpa ekspressi, kosong.
Sejenak aku beranjak untuk melaksanakan shalat subuh dan setelah itu kembali lagi untuk melihati mayat isteriku. Aku heran juga ketika memandang mayat itu, karena tiba-tiba muncul kesadaran dalam diriku bahwa aku sedang memandangi mayat seorang perempuan yang kelihatan begitu cantik, dengan kulit muka yang  putih dan bersih dan bibirnya kelihatan memerah bagaikan orang yang baru selesai berdandan. Masya Allah cantik sekali, mengapa aku baru menyadari hal itu.       
Kedua anakku berangkat malam itu juga ( setelah pembicaraan dengan telepon kemarin )  meninggalkan kota tempatnya masing-masing. Fadli naik pesawat dari Muscat  lewat Kolombo, Kuala Lumpur dan Jakarta seterusnya ke Makassar. Fitti bersama anaknya berangkat dengan kapal ferry dari Matsuyama ke Osaka, kemudian naik pesawat Garuda ke Denpasar Bali selanjutnya ke Jakarta dan seterusnya ke Makassar. Menurut kesepakatan, mereka akan bertemu di Jakarta dan bersama-sama terbang menuju Makassar.
 Alhamdulillah semua berjalan sesuai rencana sehingga memudahkan Ikhwan menjemput di airport.  Mereka menuju ke Barru dan tiba dengan selamat sekitar jam 11 malam.  Banyak orang yang menunggu  kedatangannya, utamanya teman-teman guru di SMA  Negeri 1 Barru ( walaupun aku sudah hampir 4 tahun pensiun ) menunjukkan rasa belasungkawa  yang besar begitupula para keluarga lainnya. Terima kasih semuanya semoga Allah membalas budi bak anda semua.
Pemakaman dilaksanakan pada hari berikutnya karena menunggu kedatangan kedua anak kami. Walaupun ada anjuran dalam agama untuk menyegerakan pemakaman seseorang yang sudah meninggal, tetapi kasihan juga kedua anakku akan kecewa kalau tidak sempat bertemu dengan ibunya walaupun sudah menjadi mayat padahal mereka sudah berusaha untuk tiba secepatnya. Yang penting jangan melewati 5 waktu shalat sesuai adat dan kebiasan orang Bugis Makassar.
Selamat jalan isteriku yang tercinta ( kata ini tidak pernah kuucapkan ketika dirinya masih hidup ) semoga perjalananmu menghadap Allah  berjalan mulus dan engkau ditempatkan di tempat yang layak disisinya. Walaupun dalam beberapa kesempatan baik di Barru atau Makassar engkau mengatakan kepadaku kata-kata “ Sunyita(sunyinya kakak) itu kalau saya sudah tidak ada “. Insya Allah aku akan tetap tegar dalam menjalani sisa hidupku. Aku sudah dan  berusaha melaksanakan semua permintaanmu yang sempat kuingat. Aku dan anak-anak akan senantiasa membacakan surah AlFatiha untukmu dalam setiap waktu shalat  sesuai isi salah satu ceramah dalam acara ta’syiah  kematianmu  bahwa orang yang sudah meninggal itu masih bisa menerima pahala amal kebaikan  yang dibuat atas namanya utamanya kalau dilakukan oleh anak-anak dan orang terdekatnya.
Semua orang akan meninggalkan dunia ini termasuk aku, tunggulah aku,mudah-mudahan kita masih bisa menyambung kebahagiaan kita.
Ditulis di Muscat  tanggal 18 Pebruari 2013 , 4 hari sebelum ulang tahun kelahiran isteriku tgl. 22-2-1952