PERJALANAN TERAKHIR
“ Bawalah aku kembali ke Barru Daeng ,
ke rumah ibu di Sumpang BinangaE saja” kata isteriku sambil
berbaring di tempat tidur rumah sakit,
empat hari sebelum meninggal. Permintaan ini tidak terlalu kuperhatikan karena
terfikir olehku tidak ada fasilitas perawatan yang tersedia di Barru, apalagi
kalau yang dia minta untuk dibawa ke rumah saja dan bukan ke rumah sakit. “
Disini saja, dimana kita mau ambil bantuan pernafasan berupa tabung oksigen dan peralatan lainnya
di Barru ? “ tanyaku sambil melirik ke
arah tubuhnya sedang dipenuhi peralatan
medis mulai dari cairan infus yang tergantung
dari bagian atas kepalanya melilit bagaikan ular ke pergelangan tangan
kanannya, tabung oksigen dengan selang yang ujung nya melekat dibagian hidung. Timbul
juga tanya dalam benakku, mengapa dia tidak meminta dibawa ke rumah kami saja yang di jalan
melati, mengapa harus dibawa ke rumah ibu mertuaku.“ Tidak usah difikir semua
itu, bawa saja saya ke rumah ibu karena di rumah kita tidak ada orang yang bisa
membantu “ katanya menambahkan, sepertinya dia mengerti jalan fikiranku.
Sesudah itu dia terdiam dan berusaha memejamkan matanya.
Tadi pagi sesudah pemeriksaan rutin
dokter aku dipanggil untuk berkonsultasi. Dokter memberi penjelasan bahwa
penyakit isteriku sudah sangat parah dan rupanya semua obat yang dimasukkan ke
dalam tubuhnya sudah tidak bisa berfungsi dengan baik.
Kalau kuperhatikan, akhir-akhir ini keadaannya
semakin memburuk. Kakinya mulai dari pangkal paha ke bawah membesar. Kalau
sebelumnya dia masih mampu ke kamar mandi sendirian dengan membawa botol infuse,
sekarang tidak bisa lagi. “ Kami sekarang hanya mampu meringankan saja
penderitaan ibu, hati dan pancreas sudah dipenuhi sel-sel kanker dan tidak
dapat berfungsi secara optimal lagi, paru-paru
juga begitu” kata dokter kepadaku.
Aku hanya mampu menatap kosong ke
depan, mencoba untuk melihat menembus dinding yang terbuat dari kaca bening, menghadap
ke areal perkampungan yang masih banyak
berupa tanah kosong. “ Kalau bisa keluarga dekat diminta tidak terlalu menjauh “ kata dokter
menambahkan.
Seraya memandang wajah isteriku di
pembaringan, terbayang kembali di kepalaku betapa telah sia-sianya segala usaha
kami dalam berobat selama dua tahun lebih. Sudah puluhan dukun yang dikunjungi
dengan segala macam perlakuannya seperti : mengurut, mengoles, membedaki,
menyemprotkan obat dari mulut dan segala macam obat herbal sudah diminum, semua
pengobatan dan anjuran dokter sudah dilaksanakan , operasi payudara mulai yang sebelah kiri disusul yang sebelah kanan lagi,
kemoterapi sebanyak 12 kali , berobat ke
tabib China di kawasan Pettarani dengan biaya 24 juta untuk 2 paket, berobat ke
RS Kanker di Guangzhou selama 2 bulan
dan yang terakhir menjadi pemakai rompi DR Warsito di Cikokol Tangerang . Semua
ikhtiar itu dilakukan dengan doa dan optimisme yang besar. Isteriku selalu
mengatakan bahwa semua penyakit pasti ada obatnya, hanya belum ketemu saja
Insya Allah. Tetapi kenyataannya sekarang ?.
Aku menyampaikan dan meminta pendapat
dari semua keluarga dekat prihal perkataan dokter dalam konsultasi tadi baik
secara langsung maupun lewat SMS. Mereka menyarankan agar anak kami diminta
segera datang dan mengingatkan untuk selalu membimbing isteriku dengan doa-doa,
selalu beristigfar kepada Allah dengan memperbanyak zikir dan membaca syahadat.
Hari itu juga Fadli yang berada di Muscat Oman
dan Fitti yang berada di Matsuyama Jepang kukabari juga mengenai keadaan ibunya dan perkataan dokter tadi pagi
tetapi aku tidak memaksakan mereka untuk pulang.
Kami hanya mempunyai anak 2 orang yang
keduanya di luar negeri. Fadli bekerja di PDO ( Petrolium Development of Oman )
dan tinggal di Muscat dengan isteri dan 3 orang anaknya sedangkan Fitti sedang
belajar di Ehime University program S2 juga membawa anaknya tinggal di kota
Matsuyama Jepang. Si Fitti sebenarnya baru 2 minggu lebih kembali lagi ke
Jepang setelah mengambil anaknya yang tinggal bersamaku, dengan pertimbangan
tidak ada yang bisa mengurus di Makassar setelah penyakit ibunya bertambah
parah. Apalagi suaminya juga sibuk sekali karena sedang mengikuti pendidikan dokter spesialis
penyakit dalam.
Keberangkatannya kembali ke Jepang
bertepatan dengan hari ibunya juga diantar untuk rawat inap di rumah sakit pendidikan
Unhas.
“ Bagaimana pendapatmu dik, karena
mamanya Fadli meminta untuk dibawa saja ke Barru ?” tanyaku kepada Dr. Husaini
salah seorang keluarga dekat ( sepupu isteriku ) , kebetulan seorang dokter
spesialis penyakit dalam yang juga bertugas di rumah sakit pendidikan Unhas. “
Kalau bisa Jangan dibawa dulu ke Barru , disinikan dokter dekat untuk dimintai
bantuan kalau ada apa-apa” Jawabnya.
Aku memutuskan untuk melihat dulu
perkembangan selanjutnya. Kujaga isteriku dan kuladeni segala keperluannya dan selalu mengingatkan kalau waktu shalat
sudah masuk. Isteriku sejak dirawat di rumah sakit kuanjurkan untuk selalu menggabung dan memendekkan saja shalatnya berhubung
kesehatannya yang tidakmemungkinkan.
“Bawa saya pulang ke Barru ke rumah
ibu sekarang juga dan suruh anak-anakku datang” kata isteriku tiba-tiba
mengagetkan aku dipagi berikutnya. Aku ingin berbicara lebih lanjut tetapi dia
hanya memberI isyarat dengan tangan agar aku tidak ngomong lagi sambil menutup
matanya. Aku memahami bahwa apa yang disampaikan itu sudah merupakan perintah yang
harus kuikuti. Aku segera menelpon ibu mertuaku dan menyampaikan juga bahwa
isteriku itu mau dibawa pulang ke Barru sekarang. Beliau menyetujui dan juga
menginginkan agar isteriku dibawa saja ke rumahnya di Sumpang Binangae tidak
usah dibawa ke rumahku yang di jalan melati. Aku bertanya dalam hati mengapa
antara kemauan isteriku dan ibunya bisa sama. Aku mengirim SMS kepada kedua
anakku dan menyuruh mereka untuk menelpon langsung kepadaku karena aku ingin
berbicara secara langsung. Si Fadli segera menelpon dan ingin bicara dengan
ibunya untuk membujuk agar tidak usah ke Barru dulu tetapi isteriku hanya
memberi isyarat dengan tangannya menolak. Fadlipun menyampaikan kepadaku bahwa akan meminta izin dari kantornya dan mengurus tiket
serta secepatnya berangkat, begitupula Fitti segera meminta izin kepada dosen
pembimbingnya dan mencari tiket pulang. Aku meminta juga menantuku
menyelesaikan semua urusan administrasi rumah sakit sekaligus menyewa mobil ambulans yang akan membawa isteriku ke ke
Barru.
Mobil ambulans berjalan perlahan
meninggalkan halaman rumah sakit. Dalam mobil aku duduk mendampingi isteriku
yang berbaring dengan bantuan alat pernafasan berupa tabung oksigen ukuran
kecil. Di bagian depan duduk sopir bersama seorang perawat laki-laki yang disiapkan
mendampingi selama perjalanan ke Barru. “ Tidak usah bunyikan sirenenya, nanti
orang di Barru semua kaget “bisik isteriku. Ketika hal itu kusampaikan kepada
sopir dia mengatakan bahwa sirene dibunyikan selama dalam perjalanan agar
orang-orang dapat memberikan kesempatan kepada mobil ambulans lewat. “ Nanti
setelah memasuki kota Barru, sirene tidak akan dibunyikan lagi “ kata sopir
menambahkan. Perjalanan ke Barru tidak terlalu lancar karena pada saat yang
sama terjadi pemogokan sopir angkutan umum dan berdemonstrasi di dekat jalan
masuk lapangan terbang memprotes banyaknya
mobil plat hitam ( mobil pribadi ) yang beroperasi yang merugikan angkutan umum
( plat kuning ). Mobil tertahan agak lama karena terhalang di daerah Mandai,
aku memperhatikan muka istriku ketika sopir menghentikan mobilnya sebentar
untuk membeli air minum. Raut mukanya kelihatan tidak terganggu malahan seperti
tersenyum saja, dugaanku mungkin dia puas karena keinginannya untuk pulang ke
Barru sudah terpenuhi. Aku mencoba meminumkan air ke mulutnya walaupun
kelihatannya banyak yang tertumpah saja.
Sesuai janji sopir sirene ambulans
tidak dibunyikan lagi setelah memasuki Kota Barru sehingga tidak menarik
perhatian orang-orang yang tinggal dan berada di sepanjang jalan yang dilalui.
Setelah makan siang dan diberi tambahan
uang oleh isteriku ( walaupun tidak berharap ) sopir pun membawa ambulansnya
pulang ke Makassar.
Magrib datang menjelang isteriku masih
sempat melaksanakan shalat Magrib dijamak denga shalat Isya walaupun dengan
berbaring saja. Sejak tiba di rumah, bantuan oksigen untuk pernafasan sudah tidak ada lagi karena sudah tidak ada
tabung oksigen tersedia. Malam itu mataku masih sempat tertidur sambil berjaga
disamping isteriku, juga ibu mertuaku dengan setia mendampingi anaknya juga di ranjang. Menjelang subuh nafas
istriku mulai agak sesak, aku meminta izin kepada menantuku Ikhwan ( sebagai
seorang dokter ) agar aku bisa memasang nebulizer sebagai bantuan pernafasan. Diapun
menyetujuinya dan dia sendiri berupaya
mencari pinjaman tabung oksigen ke Puskesmas dan rumah sakit walaupun tidak mampu mendapatkannya . Aku
memasang nebulizer dan merapatkannya ke hidung isteriku, tetapi asap yang
keluar dari alat itu tidak terserap lagi oleh hidungnya. Asap itu hanya
berputar sekitar hidung dan memenuhi kamar tidur. Ikhwan dengan suara serak
mencoba menghubungi Fitti yang rupanya telah mendarat di Osaka. “Bicaralah
dengan ibu. mungkin sebagai kata terakhir” dari balik telpon yang terdengar
hanya suara isak sesaat dan permintaan maaf kepada ibunya. Menjelang jam 6 pagi
nafas isteriku semakin sesak aku sudah mematikan nebulizer dan berdua dengan si
Ikhwan menuntunnya dengan membaca sahadat. “ La Ilaha Illah
Muhammadorrasulullah- La Ilaha Illah – Muhammadorrasulullah “ berulang-ulang, akhirnya isteriku menarik
nafas yang terakhir untuk kemudian tidak bernafas lagi untuk
selama-lamanya. Ikhwanpun menyenter bola
mata untuk memastikan kematian kemudian dia memberi isyarat dengan
mengeleng kepala. Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun, sesungguhnya kita berasal
dari Allah dan akan kembali kepadanya. Aku melirik jam di hpku tepat jam jam 6
lewat 10 menit di hari Selasa tanggal 9 Oktober 2012. Tak terasa isak tangis
sejenak tak mampu ku bendung begitupula si Ikhwan. Isteriku meninggal di
pangkuan ibunya yang memandangi wajah anaknya tanpa ekspressi,
kosong.
Sejenak aku beranjak untuk
melaksanakan shalat subuh dan setelah itu kembali lagi untuk melihati mayat
isteriku. Aku heran juga ketika memandang mayat itu, karena tiba-tiba muncul
kesadaran dalam diriku bahwa aku sedang memandangi mayat seorang perempuan yang
kelihatan begitu cantik, dengan kulit muka yang
putih dan bersih dan bibirnya kelihatan memerah bagaikan orang yang baru
selesai berdandan. Masya Allah cantik sekali, mengapa aku baru menyadari hal
itu.
Kedua anakku berangkat malam itu juga
( setelah pembicaraan dengan telepon kemarin ) meninggalkan kota tempatnya masing-masing.
Fadli naik pesawat dari Muscat lewat Kolombo,
Kuala Lumpur dan Jakarta seterusnya ke Makassar. Fitti bersama anaknya berangkat
dengan kapal ferry dari Matsuyama ke Osaka, kemudian naik pesawat Garuda ke
Denpasar Bali selanjutnya ke Jakarta dan seterusnya ke Makassar. Menurut kesepakatan,
mereka akan bertemu di Jakarta dan bersama-sama terbang menuju Makassar.
Alhamdulillah semua berjalan sesuai rencana
sehingga memudahkan Ikhwan menjemput di airport. Mereka menuju ke Barru dan tiba dengan
selamat sekitar jam 11 malam. Banyak orang
yang menunggu kedatangannya, utamanya
teman-teman guru di SMA Negeri 1 Barru (
walaupun aku sudah hampir 4 tahun pensiun ) menunjukkan rasa belasungkawa yang besar begitupula para keluarga lainnya.
Terima kasih semuanya semoga Allah membalas budi bak anda semua.
Pemakaman dilaksanakan pada hari
berikutnya karena menunggu kedatangan kedua anak kami. Walaupun ada anjuran
dalam agama untuk menyegerakan pemakaman seseorang yang sudah meninggal, tetapi
kasihan juga kedua anakku akan kecewa kalau tidak sempat bertemu dengan ibunya
walaupun sudah menjadi mayat padahal mereka sudah berusaha untuk tiba
secepatnya. Yang penting jangan melewati 5 waktu shalat sesuai adat dan
kebiasan orang Bugis Makassar.
Selamat jalan isteriku yang tercinta (
kata ini tidak pernah kuucapkan ketika dirinya masih hidup ) semoga
perjalananmu menghadap Allah berjalan
mulus dan engkau ditempatkan di tempat yang layak disisinya. Walaupun dalam
beberapa kesempatan baik di Barru atau Makassar engkau mengatakan kepadaku
kata-kata “ Sunyita(sunyinya kakak) itu kalau saya sudah tidak ada “. Insya
Allah aku akan tetap tegar dalam menjalani sisa hidupku. Aku sudah dan berusaha melaksanakan semua permintaanmu yang
sempat kuingat. Aku dan anak-anak akan senantiasa membacakan surah AlFatiha
untukmu dalam setiap waktu shalat sesuai
isi salah satu ceramah dalam acara ta’syiah kematianmu
bahwa orang yang sudah meninggal itu masih bisa menerima pahala amal
kebaikan yang dibuat atas namanya
utamanya kalau dilakukan oleh anak-anak dan orang terdekatnya.
Semua orang akan meninggalkan dunia
ini termasuk aku, tunggulah aku,mudah-mudahan kita masih bisa menyambung
kebahagiaan kita.
Ditulis di Muscat tanggal 18 Pebruari 2013 , 4 hari sebelum ulang tahun
kelahiran isteriku tgl. 22-2-1952